JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Senator Papua Barat Filep Wamafma memandang Pemerintah Daerah di tanah Papua perlu menegaskan kebijakan afirmasi (affirmative action) di bidang pendidikan bagi orang asli Papua (OAP). Pasalnya, sumber dana untuk membiayai pendidikan OAP terbilang sangat melimpah yang diantaranya bersumber dari dana Otsus Papua.
Menurut Filep, sumber dana yang besar ini sudah seharusnya linear dengan peningkatan kualitas pendidikan dan SDM di Papua. Namun faktanya, posisi Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Harapan Lama Sekolah (HLS) Papua dan Papua Barat selalu terendah termasuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua dan Papua Barat pun selalu berada di posisi terbawah.
Berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, Filep menjelaskan, selama periode 2002-2019 pemerintah telah menyalurkan Dana Otsus sebesar Rp 86,45 triliun dan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) sebesar Rp 28,06 triliun atau total seluruhnya sebesar Rp114,51 triliun.
“Berdasarkan Pendapat BPK terkait Pengelolaan Dana Otsus Provinsi Papua dan Papua Barat tahun 2021, diketahui bahwa dana Otsus dimaksudkan terutama untuk pembiayaan di bidang pendidikan dan kesehatan, sedangkan DTI digunakan untuk percepatan pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua dan Papua Barat,” jelas Filep, Rabu (6/7/2022).
Hasilnya, RLS dan HLS Papua-Papua Barat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Akan tetapi HLS kedua provinsi tersebut masih berada di bawah HLS nasional tahun 2019 yaitu 12,95 tahun.
Filep menyebut, Dana Otsus Papua ditetapkan setara dengan 2% dari Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional, sedangkan besarnya DTI ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan dari pemerintah provinsi.
“Kini, sebagai turunan dari UU Otsus Perubahan, terdapat PP Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua dan PP Nomor 107 Tahun 2021 tentang Penerimaan, Pengelolaan, Pengawasan, dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua,” ujarnya.
Selain itu, Filep juga mengungkapkan hasil pemeriksaan BPK menunjukkan adanya permasalahan mendasar dalam pengelolaan Dana Otsus Papua pada aspek regulasi, kelembagaan, dan sumber daya manusia. Khusus di bidang pendidikan, Mendikbudristek Nadiem Makarim mengakui bahwa sepanjang 2020, Papua mendapat alokasi anggaran pendidikan sebesar Rp1,62 triliun, dan Papua Barat menerima sekitar Rp 470 miliar.
“Namun Kemendikbudristek hanya menerima laporan alokasi tentang anggaran pendidikan dan tidak pernah menerima laporan terkait rincian dan detail penggunaan dana Otsus bidang pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa aspek transparansi dan akuntabilitas dari penggunaan dana Otsus di bidang pendidikan, patut untuk dipertanyakan,” terang Filep.
“Jika dalam kenyataan masih terdapat berbagai pungutan bagi OAP di semua tingkat pendidikan, maka pertanyaannya ialah untuk apa saja alokasi dana pendidikan tersebut? Mungkin di sinilah Kemendikbudristek mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas alokasi dan rincian penggunaan dana pendidikan,” sambungnya.
Sementara itu, sejak Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, dan Inpres Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, persoalan pendidikan yang menjadi titik berat fokus pembangunan dan diperintahkan adanya perlakuan khusus (affirmative action) bagi pengembangan kualitas SDM OAP, tidak berhasil dengan memuaskan.
Data LIPI tahun 2021 misalnya menyebutkan ada berbagai masalah yang muncul disana seperti tidak dilandasi oleh Rencana Induk dan Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, adanya tumpang tindih tugas lembaga dengan pemerintah provinsi, perubahan kapasitas atau transfer pengetahuan belum sepenuhnya dapat dilakukan, belum ada kerangka besar dari desain pendidikan yang berbasis pada kondisi geografis, sosial, budaya dan demografi OAP baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang, rencana aksi yang telah dibuat sebagai turunan dari instruksi presiden belum memuat target-target pengembangan sumber daya manusia di Papua Barat.
Wakil Ketua I Komite I DPD RI ini menambahkan, dalam Pasal 4 ayat (3) PP Nomor 106 Tahun 2021 disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberi Kewenangan Khusus dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Dalam kaitan dengan hal tersebut, prinsip umum kebijakan (in case bidang pendidikan), berkaitan erat dengan pengelolaan dana Otsus yang dialokasikan untuk pendidikan.
Selanjutnya, Pasal 3 PP Nomor 107 Tahun 2021 ayat (1) dan ayat (2) menegaskan bahwa penerimaan dalam rangka Otsus dikelola secara efektif, efisien, transparan, taat pada peraturan perundang-undangan, keberpihakan bagi OAP; dan pemerataan pelayanan dan peningkatan kualitas pendidikan dengan memprioritaskan OAP. Dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) PP tersebut dikatakan bahwa penerimaan dalam rangka Otsus tersebut harus memberikan manfaat langsung bagi masyarakat terutama OAP.
“Melihat kewenangan yang diberikan oleh UU dan PP, maka seharusnya Pemerintah Provinsi dapat mendorong, melaksanakan, memanfaatkan, dan menerapkan kebijakan afirmatif bagi OAP supaya seluruh pendidikan bagi OAP bersifat gratis. Dengan dana pendidikan dari DAU dan Dana Bagi Hasal (DBH) yang sangat besar, pendidikan gratis bagi OAP sangat memungkinkan untuk dilakukan. Sekarang tinggal bagaimana kebijakan itu dibuat payung hukumnya dalam bentuk Perdasi/Perdasus dan Peraturan Gubernur agar mendapatkan legalitasnya,” kata Filep.
“Dengan sumber dana yang melimpah, jika sektor pendidikan gagal bagi OAP, maka sebenarnya kebijakan Otsus juga telah gagal!” ungkapnya.