PAPUA BARAT – Mahkamah Konstitusi akhirnya menetapkan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 ini menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak diputuskan.
Terkait keputusan MK tersebut, wakil ketua Komite I DPD RI Filep Wamafma menyampaikan beberapa masukan. Ia berharap revisi yang dilakukan DPR RI kedepan dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat secara adil. Menurutnya, dalam kaitan dengan asas desentralisasi a quo Otonomi Daerah (dan Otonomi Khusus), beberapa pasal UU Cipta Kerja saat ini memangkas kewenangan Pemda dalam hal tata ruang dan penetapan AMDAL yang juga dihapuskan. Menurutnya, tanpa kewenangan Pemda, dikhawatirkan aspek pengawasan akan lenyap.
Hal lain yang disoroti oleh Filep ialah terkait kewenangan daerah Otsus seperti Papua dan Papua Barat tentang perizinan berusaha. Pasal 40 UU Otsus Papua menegaskan bahwa perizinan yang telah dilakukan oleh Pemda dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati. Padahal bila mengikuti logika UU Cipta Kerja berikut PP Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan di Daerah (PP-PPBD), maka sejatinya kewenangan itu akan bersifat sentralistik sehingga kewenangan daerah dalam perizinan berusaha hanya berkutat pada hal-hal yang tidak strategis. Karenanya, hal ini dapat menghambat inovasi daerah otsus dalam pengelolaan sumberdaya daerah dan sekaligus mendegradasi ciri khas otonomi khusus itu sendiri. Berbeda dengan wilayah lain yang tidak Otsus, seharusnya kata Filep, UU Cipta kerja tidak melangkahi kekhususan Papua dan Papua Barat.
Karena itu, Filep menilai dengan ditetapkannya kondisi inskonstitusional bersyarat pada UU Cipta Kerja diharapkan dapat memberikan angin segar bagi kembalinya kewenangan daerah Otsus, terutama terkait keran investasi di daerah.
“Bagaimanapun juga, kewenangan masyarakat hukum adat dalam kerangka Otsus Papua, harus diperhatikan dan dijaga, agar investasi yang digaungkan UU Cipta Kerja bisa terkendali dan menguntungkan semua pihak. Tapi, apakah perbaikan tersebut akan mereformulasi pasal dengan penekanan yang sama, ataukah menciptakan norma baru? Harapannya, revisi yang dilakukan benar-benar mendengarkan masukan semua pihak.” Tandas mantan anggota KPU Papua Barat ini.
Tapi, sambungnya, penerapan UU Cipta Kerja 2 tahun kedepan cukup membingungkan. Hal itu lantaran proses UU yang dinyatakan Konstitusional tetapi turunannya tetap dapat diberlakukan. Padahal sebuah keputusan ditangguhkan agar mengurangi dampak negatif secara luas.
“Salah satu contoh, UU Otsus Papua yang baru, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2021, menentukan bahwa Provinsi Papua/Papua Barat dapat mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan lembaga atau badan di luar negeri sesuai ketentuan yang berlaku [Pasal 1 angka 2 Pasal 4 ayat (5) UU Otsus perubahan)], yang dalam penjelasannya menegaskan bahwa hal tersebut untuk meningkatkan investasi. Bila kewenangan perizinan tidak didasarkan lagi pada UU Cipta Kerja dan PP turunannya, maka Pemda Provinsi Papua dapat menjalankan kewenangan yang lebih luas. Tapi kalau UU-nya berlaku, bagaimana?” tanya Filep.
“Sekali lagi, kita berharap agar langkah yang diambil Pemerintah Pusat pasca Putusan MK ini, akan menjadi langkah yang bijak, khususnya dalam kaitan dengan eksistensi Otsus Papua.” Tutup Dr. Filep.