Oleh;Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum
Senator Papua Barat
JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Baru-baru ini, survei Litbang Kompas merilis angka elektabilitas beberapa figur politik yang diperkirakan menjadi calon presiden setelah Jokowi. Survei yang dilakukan sejak 26 September – 9 Oktober 2021 ini dilakukan terhadap 1.200 responden di 34 provinsi, melalui wawancara tatap muka.
“Nama Prabowo dan Ganjar Pranowo berada di elektabilitas tertinggi yaitu 13,9%. Di bawah kedua nama itu, ada Anies Baswedan dengan elektabilitas 9,6%, disusul Ridwan Kamil (5,1 persen), Tri Rismaharini (4,9 persen), Sandiaga Uno (4,6 persen), Basuki Tjahaja Purnama (4,5 persen), Agus Harimurti Yudhoyono (1,9 persen), Mahfud MD (1,2 persen), dan Gatot Nurmantyo (1,1 persen).
Nama-nama di atas merupakan nama-nama yang cukup familiar dalam percaturan politik Indonesia. Semuanya memiliki cukup pengaruh melalui perannya masing-masing dalam penyelenggaraan kehidupan publik.
Sebagai Senator Papua Barat, pertanyaan saya sangat sederhana, yaitu mengapa tidak ada nama dari ras Melanesia ataupun putra Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT dalam survei tersebut?. Jangankan survei Litbang Kompas, survei yang lain pun tidak pernah mengambil satu nama tokoh dari penduduk Ras Melanesia.
Sejak Papua menjadi bagian dari NKRI, tokoh-tokoh Papua memang belum pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia. Demikian halnya juga Maluku dan NTT, belum pernah memimpin NKRI. Dan kini, mengharapkan agar orang dari Ras Melanesia menjadi Presiden RI, hanyalah bermimpi di siang bolong. Menurut hemat saya, persoalan pokoknya terletak pada kuatnya politik identitas di Indonesia.
“Politik identitas di sini bermakna bahwa asal-usul seorang calon presiden di Indonesia, dijaga sedemikian rupa agar berpusat di wilayah Indonesia bagian barat. Politik Identitas ini diperkuat oleh beberapa hal yaitu, pertama, masyarakat Indonesia sepertinya masih memfokuskan diri pada calon-calon presiden dari Indonesia Barat, dalam hal ini Pulau Jawa. Entah sudah terdoktrin, hal ini secara otomatis menghilangkan kemungkinan Ras Melanesia untuk menjadi presiden.
“Kedua, peran partai politik dalam membesarkan tokoh tertentu, biasanya hanya berpusat pada tokoh-tokoh publik di wilayah Jawa. Hal ini menyebabkan tokoh-tokoh dari Ras Melanesia hanya sebatas mensukseskan figur-figur politik yang berkiprah dan dikenal di wilayah Jawa.
“Ketiga, sadar atau tidak, asumsi publik di Indonesia masih meng-underestimate kemampuan tokoh-tokoh dari rumpun Melanesia. Menurut saya, dalam tataran tertentu, hal ini ikut menumbuhkan benih diskriminasi dan rasisme. Watak rumpun Melanesia yang keras, seringkali dianggap kurang pas sebagai pemimpin NKRI.
Di antara politik identitas itu, Ras Melanesia belum punya tokoh besar yang mampu mempersatukan semua orang dari hulu sampai hilir, dari gunung sampai pantai, dari hutan sampai perkotaan. Kalaupun ada, biasanya nasib tokoh ini tidak lama. Ketiadaan tokoh ini menyebabkan masyarakat rumpun Melanesia hanya mampu ikut memilih saja tanpa mampu menampilkan putra-putri terbaiknya untuk dipilih.
Semua persoalan di atas seharusnya memberikan inspirasi bagi anak-anak ras Ras Melanesia untuk mulai bertanya pada diri sendiri, kapankah Ras Melanesia menjadi presiden RI? Inspirasi ini memberi motivasi agar peta politik masyarakat mampu melahirkan, membesarkan, dan memberi jalan luas bagi tokoh publik dari rumpun Melanesia sehingga diakui di kancah nasional. Sudah saatnya ruang-ruang politik Ras Melanesia bersatu, membawa nama-nama yang bisa bersaing di khazanah politik Indonesia. Keterpecahan politik yang disebabkan oleh ambisi pribadi maupun kelompok, seringkali menghambat lahirnya tokoh politik dari Ras Melanesia. Dengan kata lain, perjuangan politik Ras Melanesia masih sangat diaspora, menyebar tanpa koordinasi. Bila hal ini tidak dilakukan, maka sampai kapanpun Ras Melanesia tidak bisa menjadi presiden di Indonesia.
Dalam alur yang sama, peran media pun sangat dibutuhkan dalam membesarkan tokoh politik dari Ras Melanesia. Bila media-media mainstream nasional masih hanya berfokua pada publik figur di wilayah Jawa, maka kesempatan bagi tokoh publik rumpun Melanesia semakin meredup. Jadi mau tidak mau, hanya Orang Melenesia sendirilah yang bisa menempatkan dirinya sendiri di bentara politik Indonesia.(rls).