JAYAPURA, JAGAMELANESIA.COM – Dewan Adat Papua mengungkapkan sederet permasalahan yang dihadapi masyarakat adat di Tanah Papua bahkan selama Otonomi Khusus Papua berlangsung. Hasil Pleno XV Dewan Adat Papua pada 23-24 April 2021 yang diterima jagapapua.com, Jumat (18/6), menyebutkan bahwa hingga saat ini pemerintah tidak melakukan langkah-langkah nyata untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat Papua atas kepemilikan tanah dan sumber daya alam sebagaimana amanat UUD dan UU Otsus Papua.
“Dewan Adat Papua menilai bahwa sampai saat ini tidak ada upaya nyata yang dilakukan oleh negara serta Pemerintah Pusat dan Daerah untuk melindungi hak-hak masyarakat adat Papua atas tanah, hutan, air dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, walaupun UUD 1945, khususnya pasal 18B, maupun UU Otonomi Khusus Papua, mengamanatkan hal tersebut,” bunyi pandangan Dewan Adat Papua, mengetahui Ketua I, Willem Zaman Bonay.
Peristiwa berpindahnya kepemilikan atas tanah adat kerap kali terjadi dari masyarakat adat oleh pihak-pihak luar atas nama pembangunan menyebabkan masyarakat adat Papua terus termarginalkan di atas tanahnya sendiri. Dewan Adat Papua menegaskan bahwa tanah adat Papua hanya dapat disewakan dan tidak untuk dipindah-tangankan kepemilikannya kepada pihak lain.
“Masyarakat adat Papua terus termarginalkan dari atas tanahnya sendiri karena pencaplokan tanah adat atas nama pembangunan terus terjadi dan praktek pemberian sedikit uang dan barang, tanah dan hutan yang sangat luas direbut untuk selamanya. Pihak luar, yang memproleh izin dari pemerintah, tidak peduli dimana dan dengan cara apa masyarakat adat Papua akan hidup dan bertahan di kemudian hari,” tambahnya.
Selain itu, pandangan Dewan Adat Papua juga mengungkapkan adanya kesenjangan pembangunan yaitu pembangunan di kota/kabupaten yang cenderung tidak merata dan justru tidak berpihak kepada daerah dengan mayoritas penduduknya masyarakat adat ataupun Orang Asli Papua (OAP).
“Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi hanya ada di kota dan kabupaten dimana masyarakat adat Papua sudah menjadi minoritas. Sementara di kabupaten-kabupaten yang mayoritas penduduknya adalah Orang Asli Papua, justru IPM-nya sangat rendah, bahkan terendah di dunia,” jelasnya.
Dewan Adat Papua juga menyoroti persoalan penggunaan Dana Otsus Papua di bidang pendidikan dan kesehatan yang implementasinya dinilai jauh dari harapan. Persoalan pendidikan didapati adanya kekurangan tenaga pendidik, banyaknya masyarakat terutama masyarakat adat dalam usia sekolah namun tidak bersekolah, rata-rata lama sekolah sangat pendek hanya sekitar 3 tahun pada Sekolah Dasar. Persoalan tersebut kemudian berakumulasi dan menyebabkan peluang dan kesempatan kerja yang ada justru dimanfaatkan oleh para pendatang atau migran dari daerah lain.
Sementara itu, di bidang kesehatan, Dewan Adat Papua menyampaikan persoalan yang masih dialami masyarakat Papua antara lain tentang ketersediaan, kualitas dan keberlanjutan fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada di kampung-kampung. Selain itu, ketersediaan tenaga kesehatan juga masih menjadi persoalan konkrit yang dihadapi masyarakat di wilayah ujung timur Indonesia tersebut.
“Dalam hal pembangunan kesehatan. Pemerintah sering dengan bangga memamerkan fasilitas dan layanan kesehatan yang tumbuh selama 20 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus, yang terjadi dan tersedia bagi masyarakat di daerah perkotaan. Pemerintah jarang sekali mengemukakan bagaimana ketersediaan, kualitas dan kontinuitas fasilitas dan layanan kesehatan di kampung seperti jumlah ketersediaan puskesmas, pustu, poslindes, pelayanan kesehatan terapung, dll yang benar-benar berfungsi dan melayani masyarakat asli Papua di kampung-kampung terpencil serta ketersediaan tenaga medis yang direkrut dan ditempatkan oleh pemerintah untuk melayani masyarakat adat Papua,” ungkapnya. (UWR)