JAGAMELANESIA.COM – Rapat Kerja (Raker) Pansus Otsus Papua DPR RI bersama DPD RI terkait dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 21 Tahun 2002 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua digelar pada Kamis, 17 Juni 2021 kemarin, di gedung DPR RI Senayan, Jakarta. Rapat ini turut dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, Wakil Menteri Keuangan RI, serta dari Komisi I DPD RI.
Dalam raker tersebut, Ketua Pansus Papua DPD RI, Filep Wamafma, S.H, M.Hum, menyampaikan pandangan Tim Kerja (Timja) Otsus Papua DPD RI terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Kedua tersebut.
Filep menyampaikan bahwa DPD RI berpandangan pembahasan Perubahan Kedua Atas Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebaiknya tidak hanya dibatasi pada 3 (tiga) Pasal sebagaimana draft yang disampaikan. Hal tersebut dikarenakan pembatasan pembahasan RUU dikhawatirkan akan menghambat upaya-upaya perbaikan tata kelola Otonomi Khusus Papua melalui penyempurnaan regulasi Otonomi Khusus yang sejatinya tidak hanya sebatas pada tiga Pasal saja.
“DPD RI mengusulkan lima kerangka yang akan menjadi dasar dalam pembahasan revisi tersebut. Lima kerangka itu yakni (a) Pengakuan dan penyerahan kewenangan dalam kerangka Otonomi Khusus khususnya kewenangan Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. (b) Struktur dan tata kelola keuangan Otonomi Khusus khususnya yang berkaitan dengan struktur, kelembagaan, dan hubungan provinsi dan kabupaten/kota. (c) Sumber pembiayaan Otonomi Khusus yang terintegrasi ke dalam satu sumber pembiayaan yakni Otonomi Khusus, tidak seperti kondisi eksisting dimana terdapat pembiayaan dari Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), dan sumber dana lainnya. (d) Sinkronisasi dan Harmonisasi perangkat kebijakan Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang selama ini masih tumpang tindih. Dan (e) Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia,” ujar Filep dalam penyampainnya.
Selain itu, DPD RI juga memberikan masukan terkait dengan draft Perubahan Kedua tersebut, pertama, merekonstruksi kembali konsideran menimbang dengan mensistematisir penyusunannya melalui penegasan terhadap landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Kedua, memasukkan Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945 di dalam konsideran mengingat. Ketiga, Pasal 1 angka 1 RUU, memastikan bahwa perumusan definisi dan istilah tidak bertentangan dengan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keempat, Pasal 34 RUU, DPD RI meminta adanya pembahasan lebih lanjut berkaitan dengan skema pendanaan Dana Otonomi Khusus secara lebih berkeadilan dengan tetap memperhatikan kekhususan bagi Orang Asli Papua (afirmasi), penguatan kapasitas kelembagaan dan pengawasan yang lebih efektif, mempertegas bentuk dan pola pengawasan, pembinaan, dan pengelolaan otonomi khusus, efektifitas pengaturan bagi hasil Migas dengan Perdasus, dan pengaturan lebih lanjut pengawasan, pembinaan, dan pengelolaan dengan Peraturan Pemerintah. Dan kelima, Pasal 76 RUU, DPD RI meminta adanya pembahasan lebih lanjut mengenai kriteria mengenai pemekaran Provinsi di Papua, pembiayaan, dan bentuk keterlibatan MRP dan DPRP dalam Pemekaran.
Lebih lanjut, Filep menyampaikan usulan dari DPD RI bahwa Revisi Undang-Undang tentang Otsus Papua juga harus mempertimbangkan beberapa hal, pertama, memastikan kewenangan khusus bagi Provinsi Papua. Kewenangan khusus ini memastikan Undang-Undang tentang Otsus Papua tidak dikalahkan oleh Undang-Undang sektoral dan Kementerian termasuk dengan adanya Undang-Undang tentang Cipta Kerja. Kedua, perlu untuk memuat substansi kekhususan tersebut dalam Konsideran Mengingat yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Perdasus.
Ketiga, perubahan nomenklatur “partai politik” dalam Undang-Undang tentang Otsus Papua menjadi partai politik lokal (pasal terkait dengan Partai Politik di Undang-Undang Otsus). Keempat, pasal mengenai DPRP khususnya mengenai pemilihan tidak harus dipilih akan tetapi diangkat untuk menjamin Orang Asli Papua duduk di MRP dan DPRP (afirmasi). Kelima, pasal definisi Orang Asli Papua: tidak ada pengangkatan dan adanya pengaturan mengenai hak waris bagi Orang Asli Papua. Keenam, Agar Dana Otsus dipisahkan dari sumber pendapatan daerah lainnya dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban tersendiri. Ketujuh, Pembagian prosentase menyesuaikan kenaikan Dana Otsus khususnya untuk Pendidikan sebesar 35% dan Kesehatan sebesar 25%. Dan terakhir, perlunya pembentukan Badan Otonom yang akan mengawasi dan mengelola Dana Otsus.
“DPD RI juga menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses pembahasan RUU ini. Disamping memastikan keterlibatan masyarakat, pembahasan RUU ini juga harus melibatkan Masyarakat Adat dan Majelis Rakyat Papua serta mengakomodir berbagai masukan yang berasal dari masyarakat Papua baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis,” pungkas Filep Wamafma, yang juga Anggota DPD RI dapil Papua Barat tersebut.
Dalam raker tersebut juga Filep menegaskan bahwa RUU yang akan disahkan harus memberikan jaminan keselamatan, jaminan kehidupan, jaminan keadilan, dan jaminan diskriminasi bagi rakyat Papua, karena menurutnya hal-hal tersebutlah yang dibutuhkan oleh mereka.
Sekedar untuk diketahui, pekan depan DPR RI akan menyerahkan DIM (Daftar Invetaris Masalah) RUU Otsus Papua kepada pemerintah. (YAV)