JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi di halaman kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan menggunakan alat peraga pohon dan asap buatan yang menggambarkan kerusakan hutan Tanah Papua, akibat pembukaan hutan untuk kepentingan perkebunan pada Kamis (8/4) siang.
Sejumlah poster atau pesan menghiasi aksi ini bertuliskan ‘Cabut Izin Perusahaan Perusak Hutan Papua’ dan ‘Selamatkan Masyarakat Adat Papua’ hingga #sayabersamahutanpapua sebagai tuntutan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan atas kebijakan yang menjadikan hutan di Tanah Papua sebagai target deforestasi terencana.
Sebelumnya Greenpeace International merilis laporan Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua yang mengungkap indikasi dugaan pelanggaran dalam pemberian izin terhadap 25 perusahaan dari 32 perusahaan yang memperoleh pelepasan kawasan hutan di Provinsi Papua antara tahun 2011-2019. Pemberian izin tersebut terbit pada saat Zulkifli Hasan menjabat sebagai Menteri Kehutanan (2009-2014) dan juga di era Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.
“Kami melaporkan indikasi adanya dugaan pelanggaran kebijakan yang mengobral hutan di Tanah Papua sekaligus mendesak pemerintah untuk melakukan tindakan hukum, termasuk meminta Menteri LHK Siti Nurbaya untuk mengevaluasi kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan perkebunan sawit tersebut.” kata Asep Komarudin, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
KLHK berulang kali menyebut deforestasi di Papua dan Papua Barat berasal dari perizinan sebelum masa pemerintahan Joko Widodo.
“Masalah deforestasi tidak selesai dengan hanya menyalahkan pemerintahan sebelumnya, pemerintah saat ini justru punya kewenangan untuk mengusut dan mencabut izin yang diduga melanggar peraturan,” tegas Asep.
Munculnya perizinan di Tanah Papua diduga melibatkan banyak kepentingan bisnis, pejabat negara dan anggota partai politik yang berpengaruh serta pensiunan jenderal polisi. Perizinan tersebut banyak melanggar aturan seperti tidak memiliki AMDAL, izin yang diduga dipalsukan dan melakukan aktivitas tanpa Hak Guna Usaha serta menyembunyikan kepemilikan. Hal ini diperburuk dengan terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja yang memberi peluang lebih besar bagi oligarki politik dan bisnis untuk mempengaruhi pengambilan keputusan izin investasi di kawasan hutan Papua.
“Kami meminta KLHK untuk melanjutkan dan melakukan penyidikan lebih dalam terkait dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para perusahaan sesuai kewenangan yang dimiliki oleh KLHK,” kata Asep.
“Sementara hutan yang belum dikonversi menjadi perkebunan bisa diselamatkan dan dikembalikan kepada masyarakat adat Papua,” tambah Asep.
Ekspansi besar di Papua telah menimbulkan banyak dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat adat Papua. Tidak jarang hal ini memunculkan kasus sengketa lahan dan menempatkan masyarakat adat hanya sebagai penonton, saat tanah mereka diserahkan kepada perusahaan tanpa persetujuan masyarakat adat.
Terkait hal ini, Nico WamafmaJuru Kampanye Hutan Papua Greenpeace Indonesia menyatakan:
“Dugaan adanya manipulasi ini telah membelah dan merusak harmoni kehidupan komunitas adat, karena hutan Papua itu sumber mata pencaharian dan praktek kebudayaan masyarakat adat.”
“Pemerintah harus menempatkan masyarakat adat pemilik tanah ulayat sebagai aktor utama dalam mengelola lahan dan hutan, bukan mendahulukan kepentingan investasi yang hanya menguntungkan segelintir kelompok,” tutup Nico. (rls)