BerandaOpiniPilkada Halmahera Selatan Ala Plutokrasi

Pilkada Halmahera Selatan Ala Plutokrasi

Oleh: Muhammad K. Faisal, M.Pd, Akademisi STAI Al-Khairat Labuha

Seperti yang kita lihat dewasa ini, terdapat berbagai metode yang disampaikan oleh para calon kepala daerah (Cakada), dalam momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, tidak terkecuali para Cakada yang mengikuti kontes politik di Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) saat ini.

Dalam demokrasi dewasa ini, telah melibatkan berbagai pihak guna ikut keterlibatan secara langsung baik itu birokrasi pemerintah, masyarakat, praktisi, maupun pada levelitas secara akademik hingga pada nilai dan integritas penyelenggaraan pemilu pun dipertaruhkan.

Pilkada serentak ini merupakan ajang politik yang mengharuskan kontestan yang bersaing, bukan hanya mengumbar janji dan sketsa wajah sebagai tontonan publik guna menarik perhatian secara menyeluruh, melainkan memberikan gagasan serta idea pokok demi meniatkan diri dalam membangun sumber daya, yang mampu bersaing menuju impian kita bersama.

Sejauh wacana hingga pada janji politik yang disampaikan oleh para calon kepala daerah saat ini hanya mengacu pada kepentingan etnis, kelompok bahkan pada menjanjikan jabatan ketika Paslon tertentu memenangkan pemilihan kepala daerah sekarang ini, dan gagasan yang disampaikan oleh calon kepala daerah masih bersifat formal yang tidak dialektis dan berintelektual akademik serta masih menggunakan kekuatan finansial sebagai tolak ukur kemenangan.

Sehingga hal ini pun memberikan peluang bagi para kandidat tertentu untuk melakukan praktek politik uang, dibanding politik gagasan yang intelektual, karena disokong oleh pengusaha dan atau orang berduit sebagai donatur.

Olehnya itu jika dilihat dari perjalanan politik dan sisi gelap demokrasi Halsel, searah dengan apa yang pernah dipraktekkan oleh kekaisaran Romawi di kota-kota Yunani kuno yang biasanya disebut politik “Plutokrasi”.

Sebagaimana politik ini ditemukan dalam beberapa referensi yang memberikan epistemologi mengenai plutokrasi seperti menguntungkan pihak terkait, dalam hal ini Pemerintah lebih memperhatikan serta memenuhi kebutuhan para elit ekonomi atau kaum kaya, yang lebih parah lagi para penganut plutokrasi bisa mencabut amanah dari pemerintah yang telah terpilih.

“Hal ini pun memberikan peluang untuk para elit ekonomi memiliki mekanisme tertentu, sehingga bisa membuat peraturan yang menguntungkan kaumnya. Dan kekuasaan secara publik pun dikelola untuk kepentingan tertentu, sehingga kaum elit ekonomi lokal, masyarakat biasa mau tidak mau harus mengikuti peraturan yang telah dibuat.

Sistem politik yang berdasarkan plutokrasi ini pun sering dikritik karena berpotensi penyalahgunaan kekuasaan dan kurangnya representasi rakyat, dikarenakan lebih cenderung menguntungkan kelompok kaya sementara mengabaikan kepentingan dan aspirasi mayoritas masyarakat.

Dari segi pandangan tersebut, apabila demokrasi yang kita implementasikan dengan menggunakan corak Plutokrasi maka siapapun yang menjadi pemimpin di Kab. Halsel, akan dijadikan sebagai boneka bagi para plutokrat yang memegang kekayaan dan kekuasaan politik, sehingga menggunakan kekuasaan tersebut untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk kesejahteraan umum.

“Begitu juga terdapat relasi dari setiap penyampaian informasi politik dan dibungkus dengan rapi menggunakan visi dan misi guna disampaikan ke masyarakat untuk meraup simpati.

Penerapan politik yang dilakukan oleh calon kepala daerah Halsel, yang gagasan dan cara berpikirnya serta praktek politik searah dengan sistem Plutokrasi ini, maka pemimpin tersebut sebagai ancaman intelektual masyarakat di masa depan.

Dengan kata lain, plutokrasi  jika di terapkan dalam mengampanyekan kandidat tertentu, menunjukkan ketidakseimbangan kekuasaan dan distribusi kekayaan yang cenderung menguntungkan kelompok kecil atau elit yang kaya apabila terpilih dikemudian hari.

“Akibatnya, kesetaraan sosial dan kesempatan yang adil dalam masyarakat dapat terancam, sementara kesenjangan ekonomi mungkin semakin meningkat, dikarenakan hadir dan masifnya praktek ongkos politik yang menjadi acuan dasar, guna menggiring cara berpikir masyarakat ke ruang materialis dan ketergantungan. Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi demokrasi politik di Halsel, bahkan bisa menimbulkan korupsi kebijakan karena adanya timbal balik antara kepala daerah dan cukong yang saling menguntungkan satu sama lain, meskipun mereka harus mengabaikan kepentingan masyarakat.

Cita-cita untuk mewujudkan demokrasi yang melibatkan partisipasi aktif dan responsif untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan tampaknya berubah menjadi arah yang condong ke plutokrasi. Dampak nyata dari penyebaran plutokrasi dalam dunia politik adalah bahwa para wakil rakyat yang semestinya menjadi garda terdepan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat justru berubah menjadi alat bagi para pemodal untuk mengeksploitasi sumber daya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru