BerandaHukumJadi Pembicara Forum Internasional Universitas Altai Rusia, Filep Wamafma Sampaikan Sejumlah Isu...

Jadi Pembicara Forum Internasional Universitas Altai Rusia, Filep Wamafma Sampaikan Sejumlah Isu Krusial di Tanah Papua

JAGAMELANESIA.COM – Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma memenuhi undangan sebagai pembicara pada Pertemuan Utama Konferensi Ilmiah Internasional Universitas Negeri Altai (Altai State University), Barnaul, Rusia. Undangan ini disampaikan oleh Profesor Hukum sekaligus Kepala Departemen Teori dan Sejarah Negara dan Hukum Universitas Negeri Altai, Vitaly V. Sorokin.

Adapun konferensi ilmiah internasional yang terselenggara pada Rabu (23/5/2023) itu mengusung tema ‘Pola perkembangan hukum di abad XXI: Masalah dan Solusi’. Atas kesempatan ini, Dr. Filep Wamafma mengapresiasi undangan Profesor Vitaly Sorokin untuk berbicara di depan peserta konferensi internasional dan jajaran akademisi Universitas Negeri Altai.

Filep Wamafma menyampaikan bahwa dalam hukum tata negara pasca reformasi tahun 1999, Indonesia menerapkan sistem desentralisasi berupa Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus maupun daerah istimewa diberikan untuk 4 provinsi yakni Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh dan Papua. Pemberlakuan Otsus ini didasarkan pada latar belakang yang dimiliki masing-masing daerah tersebut.

“Sistem desentralisasi asimetris ini sebagai simbol bahwa negara itu memiliki konsep untuk mempercepat pembangunan lantaran adanya kesenjangan sosial ekonomi bahkan politik, dan juga sebagai upaya untuk memperkokoh integrasi NKRI. Sistem ini menjadi salah satu hasil perkembangan hukum abad XXI di Indonesia,” urainya.

“Desentralisasi asimetris merujuk pada pola hubungan unik antara pemerintah pusat dan daerah karena sebab-sebab khusus, Di Papua misalnya, karena adanya proses sejarah politik Papua, persoalan kesejahteraan ekonomi dan lainnya. Kemudian, Aceh berdasarkan sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, diantara isi keistimewaannya berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat dan pendidikan. Lalu DKI Jakarta karena sebagai ibukota negara dan DI Yogyakarta lantaran telah memiliki pemerintahan sendiri sejak 1755 sebelum Indonesia merdeka dengan sistem kerajaan,” kata Filep menambahkan.

Selaku senator, Filep menyampaikan tugas serta tanggung jawab sebagai perwakilan daerah yang meliputi Pengajuan Usul Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Pembahasan Rancangan Undang-Undang, Pertimbangan Atas Rancangan Undang-Undang serta Pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Pengawasan Atas Pelaksanaan UndangUndang, Penyusunan Program Legislasi Nasional dan Pemantauan serta Evaluasi Rencangan Peraturan Daerah berikut Peraturan Daerah.

Dalam paparannya, senator Filep menyampaikan sejumlah persoalan di tanah Papua dan perjuangan mengadvokasi hak-hak dasar masyarakat adat Papua. Diantaranya yakni advokasi yang dilakukannya terkait masalah investasi di tanah Papua yang masih berbenturan dengan hak-hak masyarakat adat, misalnya di Papua Barat mengenai peran BP LNG Tangguh di Kabupaten Teluk Bintuni hingga perjuangan pendidikan gratis, kesehatan dan hak-hak politik orang asli Papua.

“Masuknya investasi di Papua ini masih diiringi persoalan seperti munculnya protes masyarakat adat, masalah ruang hidup dan lingkungan, manfaat investasi yang belum sepenuhnya menjawab kebutuhan masyarakat setempat. Persoalan ini kerap terjadi di daerah-daerah yang memiliki kekayaan SDA, ini yang menjadi salah satu fokus advokasi saya saat ini,” katanya.

Hasil advokasi Filep Wamafma atas BP Tangguh menemukan keprihatinan kondisi masyarakat Teluk Bintuni Papua Barat, seperti tidak layaknya sarana pendidikan, ketersediaan air bersih yang sangat sulit, tidak adanya prioritas mendapatkan lapangan kerja, sarana dan prasarana dalam transportasi yang sangat tidak memadai, dan masih banyak yang lainnya.

“Kondisi yang saya temui ini sangat berbanding terbalik dengan klaim BP Tangguh yang menyatakan bahwa pihaknya telah memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat Teluk Bintuni Papua Barat. Berkaca dari kesenjangan antara klaim BP Tangguh dan fakta di lapangan, maka dapat disimpulkan bahwa BP Tangguh telah menegasikan hak-hak konstitusional masyarakat adat dan masyarakat terdampak oleh eksplorasi dan eksploitasi BP Tangguh. Di sisi lain, ketiadaan pengawasan pemerintah sebagai regulator, membuat semua pelanggaran hak masyarakat semakin masif dan terstruktur,” ungkapnya.

“Oleh karena itu, melalui Laporan Advokasi tersebut, saya meminta kepada Pemerintah untuk mengaudit seluruh keberadaan BP Tangguh, dan mengambil langkah-langkah konkret lain yang diperlukan, guna mengembalikan dan merestorasi hak-hak masyarakat adat dan masyarakat terdampak yang dilanggar. Laporan Advokasi ini merupakan bentuk pembelaan yang dilindungi oleh Konstitusi, dan merupakan bentuk penghormatan kami kepada NRI,” sambungnya.

Lebih lanjut, penulis sejumlah artikel terindex Scopus itu juga menyinggung masalah Kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua yang meningkat pada 2022. Mayoritas kasus itu berhubungan dengan pembungkaman kebebasan berekspresi hingga penolakan terhadap kehadiran perkebunan kelapa sawit.

“Berdasarkan Catatan Akhir Tahun 2022 Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA), terjadi 38 kasus kekerasan yang tersebar di berbagai kabupaten, bertambah delapan kasus dibandingkan dengan data 2021. Paling banyak terjadi di Jayapura (8), Jayawijaya (6), Nduga (4), dan Dogiyai (3). Dari kasus ini, 34 peristiwa melibatkan aparat negara dan 4 kasus di daerah konflik bersenjata yang melibatkan militer dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB),” ucapnya.

“Berangkat dari keresahan melihat kondisi nyata di lapangan terhadap masyarakat Papua, menjadikan faktor pendorong bagi saya untuk terus konsisten dalam hal memperjuangkan hak-hak mereka sehingga masyarakat Papua juga dapat hidup dengan sejahtera sebagaimana dirasakan oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia,” katanya.

Tak hanya itu, pimpinan Komite I DPD RI ini juga mengungkapkan salah satu fokus kerja saat ini adalah sedang melakukan advokasi terkait penerapan pendidikan dan kesehatan gratis di Papua melalui otonomi khusus.

“Persoalan pendidikan di Papua merupakan persoalan serius karena menyangkut kualitas kehidupan masyarakat Papua. Sejumlah kebijakan pemerintah pun telah dicanangkan guna meningkatkan mutu pendidikan di Papua, diantaranya melalui kebijakan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, sebagaimana telah diamanatkan baik dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua maupun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Saya mohon doa dan dukungannya agar perjuangan tersebut dapat membuahkan hasil yang maksimal dan sesuai dengan harapan dari masyarakat Papua, khususnya bagi masyarakat hukum adatnya,” ungkap Filep.

Pertemuan utama konferensi internasional ini turut dihadiri Profesor Madya sekaligus Kepala Departemen Tenaga Kerja, Hukum Lingkungan dan Acara Perdata Universitas Negeri Altai Rusia, Evgeniy Sergeyevich Anichkin dan Doktor Hukum Ochrella Tricella Vera. Kehadiran Dr. Filep Wamafma menjadi kesempatan yang baik atas partisipasi aktif senator Indonesia dalam kegiatan akademik di level internasional.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru