JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Sejumlah isu sentral yang mengemuka di tanah air turut disorot oleh lembaga internasional, yakni Komite HAM PBB. Terbaru, Komite HAM PBB telah mengeluarkan dokumen hasil observasi dan rekomendasi (concluding observation) perihal situasi HAM di Indonesia melalui komponen yang tertuang dalam Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) pada 28 Maret 2024.
Melansir siaran pers KontraS (31/3/2023), dokumen tersebut menyimpulkan isu-isu yang telah disidangkan pada 11 – 12 Maret 2024 di Jenewa mulai dari isu impunitas dan pelanggaran HAM berat masa lalu, kekerasan di Papua, penyempitan ruang sipil, bisnis dan HAM, pelanggaran dalam proses pemilu, penyiksaan, hukuman mati, independensi peradilan, korupsi, hingga gender dan diskriminasi.
Pada salah satu catatannya, komite HAM menggarisbawahi rantai impunitas yang masih terjadi di Indonesia akibat pola kekerasan oleh aparat keamanan terhadap masyarakat sipil. Pola tersebut dapat dilihat dari maraknya eksekusi pembunuhan di luar jalur hukum (extrajudicial killing), penghilangan paksa, serta kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang tak kunjung tuntas penyelesaiannya melalui jalur pengadilan.
Koodinator KontraS, Dimas Bagus Arya menyampaikan, beberapa kasus yang diangkat adalah pembunuhan berencana Munir Said Thalib, kasus penghilangan paksa pada mahasiswa demonstran 1997-1998, pembunuhan masyarakat adat Paniai pada 2014, kuburan massal korban pembantaian 1965 – 1966, kekerasan dan pembunuhan di luar jalur hukum yang kerap terjadi pada masyarakat adat Papua.
Kekerasan referendum Timor Leste 1999, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh 2003, dan nihilnya pemulihan efektif pada korban dan keluarga korban serta jalur non-yudisial (PPHAM) yang digunakan sebagai salah satu mekanisme penuntasan pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
“KontraS beranggapan bahwa laporan tersebut mencerminkan ketidakseriusan pemerintah Indonesia dalam menghentikan rantai impunitas di Indonesia. Dalam setiap forum internasional, Pemerintah Indonesia kerap melakukan pembelaan yang tidak berdasarkan pada fakta dengan mengklaim praktik demokrasi yang terus maju dan membaik,” sebutnya.
“Tak luput juga pemerintah Indonesia mengagung-agungkan konsep penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM masyarakat sipil yang tertuang dalam Hukum HAM Internasional. Padahal, hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan fakta lapangan dimana kekerasan kerap menjadi senjata bagi aparat keamanan dan penegak hukum terhadap masyarakat sipil dimana hal ini terkesan dinormalisasi,” sambungnya.
KontraS menilai, kekalnya impunitas dan lemahnya akuntabilitas pemerintah Indonesia terhadap korban dan keluarga korban dapat ditinjau melalui empat kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang telah diadili, namun pelaku dinyatakan bebas. Empat kasus tersebut yakni Tanjung Priok, Timor Timur, Abepura, dan Paniai. Kosongnya landasan hukum internasional yakni Kovenan Internasional Anti-Penghilangan Paksa (ICPPED) pun memudahkan akses para pelaku melanglang buana dan menuntut dirinya agar bisa ditempatkan sebagai pejabat publik.
Berdasar hal di atas, KontraS mendesak:
- Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk mendorong dan berkoordinasi terkait hasil observasi dan rekomendasi Komite HAM PBB kepada seluruh kementerian dan lembaga yang bersangkutan
- DPR RI untuk mendorong ratifikasi kovenan internasional yang bersangkutan dengan hasil observasi Komite HAM PBB seperti Kovenan Internasional Anti-Penghilangan Paksa (ICPPED), Protokol Opsional untuk ICCPR (OP-ICCPR), dan Protokol Opsional untuk Konvensi Anti-Penyiksaan (OP-CAT)
- Komnas HAM untuk segera menuntaskan investigasi kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu termasuk pembunuhan berencana Munir Said Thalib yang sudah lama tertunda tanpa alasan untuk penguluran waktu.