BerandaHukumViral di Media Sosial, Kasus Penganiayaan Terhadap Warga Papua oleh Oknum TNI...

Viral di Media Sosial, Kasus Penganiayaan Terhadap Warga Papua oleh Oknum TNI Tuai Sorotan Tajam

PAPUA, JAGAMELANESIA.COM – Sebuah video beredar viral di media sosial memperlihatkan aksi penganiayaan oknum anggota TNI terhadap warga Papua. Dalam video itu, terlihat seorang pria berada di dalam sebuah drum berisi air. Lantas pria itu bergantian dipukuli dan bagian belakang tubuhnya disayat menggunakan senjata tajam.

Akibatnya, sebanyak 13 anggota TNI dari Yonif Raider 300/Bjw telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penganiayaan pria bernama Defianus Kogoya di Papua Tengah. Belasan prajurit itu juga sebelumnya sudah ditahan dan ditahan sementara di Pomdam III/Siliwangi.

Terkait kasus ini, Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Izak Pangemanan mengatakan peristiwa penganiayaan terjadi pada 3 Februari 2024. Menurutnya, pada mulanya TNI mendapat laporan masyarakat perihal adanya tiga anggota KKB yang diduga hendak membakar puskesmas di Kabupaten Puncak.

“Anggota kami mendapat laporan dari masyarakat bahwa ada kelompok KKB yang akan membakar puskesmas,” kata Mayjen Izak dalam konferensi pers di Subden Denma Mabes TNI, Jakarta Pusat, Senin (25/3).

Izak menjelaskan sempat terjadi kontak tembak antara tiga warga yang diduga anggota KKB tersebut dengan TNI-Polri yang akhirnya ketiga anggota KKB bisa ditangkap. Namun, salah satu anggota KKB bernama Warinus Kogoya meninggal dunia karena berusaha kabur dengan melompat dari mobil.

Sedangkan, dua anggota KKB lainnya juga sempat meloloskan diri namun berhasil ditangkap aparat di perbatasan Distrik Gome. Usai ditangkap, mereka dianiaya sejumlah anggota TNI. Menurutnya, anggota KKB yang disiksa prajurit TNI tersebut kini sehat dan telah dikembalikan kepada keluarga mereka.

Kasus penganiayaan ini juga mendapat sorotan publik. KontraS merespons agenda konferensi pers Mabes TNI dalam hal ini diwakili Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen), Mayjen TNI Dr Nugraha Gumilar, Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XVII Cenderawasih dan Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat (Kadispenad), Brigjen TNI Kristomei Sianturi.

Dalam rilisnya, KontraS mengecam keras pernyataan klarifikasi yang disampaikan oleh pihak Markas Besar TNI yang disampaikan pada tanggal 25 Maret 2024, karena terkesan abai terhadap permasalahan utama dari kondisi yang terjadi di Papua.

Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya menyampaikan, berbagai peristiwa kekerasan di Papua yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa baik dari kalangan masyarakat sipil, OPM dan aparat negara merupakan rentetan dari kebijakan Operasi Militer yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia.

“Terlebih, kasus penyiksaan yang dilakukan oleh 13 anggota TNI kepada warga sipil terjadi dalam masa awal kepemimpinan Panglima TNI, Agus Subiyanto yang menekankan pentingnya sebuah kebijakan pendekatan diplomatis untuk mengurangi kekerasan di Papua. Situasi ini menjadi sangat kontradiktif dengan situasi kekerasan yang terjadi dalam 2 bulan terakhir. KontraS mencatat sebanyak telah terjadi 8 peristiwa penyiksaan medio Januari hingga 25 Maret 2024,” ujar Dimas dalam rilis KontraS, Rabu (27/3/2024).

Catatan KontraS terkait kasus penganiayaan warga di Papua Tengah

Lebih lanjut KontraS menyampaikan lima poin catatan terkait persoalan tersebut antara lain:

Pertama, pengakuan Pangdam XVII/Cenderawasih atas peristiwa penyiksaan yang dilakukan oleh anggota kesatuan Yonif 300 Raider/Braja Wijaya. Dalam pernyataannya terdapat motif para pelaku melakukan tindak penyiksaan tersebut bertujuan untuk melakukan interogasi dikarenakan para korban diduga terlibat dalam gerakan TPNPB-OPM.

“Kami mengecam pernyataan tersebut karena hal ini merupakan bentuk legitimasi terhadap tindak penyiksaan yang dilakukan oleh pihak TNI. Kami menilai sekalipun seseorang dituduh melakukan tindak pidana harus mengutamakan pendekatan sistem peradilan pidana (criminal justice system) dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) standar dan prinsip hak atas peradilan yang adil (fair trial),” sebutnya.

Kedua, tidak adanya pengawasan yang ketat membuat tindakan yang dilakukan oleh aparat militer keluar dari kewenangannya. Merujuk kepada tugas yang diberikan kepada pasukan Yonif 300 Raider/BJ, sejatinya mereka ditugaskan untuk melaksanakan operasi Pengamanan Perbatasan (Pamtas) di wilayah perbatasan Republik Indonesia-Papua New Guinea. Sehingga, pernyataan yang disampaikan oleh Pangdam Cenderawasih menjadi kontradiktif dengan tugas yang diberikan Yonif 300 Raider/BJ.

Ketiga, peristiwa penyiksaan yang terjadi juga kian menebalkan persepsi ‘kentalnya’ kultur kekerasan pada institusi TNI, khususnya aparat yang bertugas di Papua. Lewat keterangannya, Kadispenad Kristomei Sianturi menyebutkan bahwa penyiksaan dilakukan atas dasar informasi masyarakat yang tersebar bahwa akan ada serangan berupa pembakaran Puskesmas sehingga terjadi penangkapan terhadap korban tersebut. Padahal, dalam keadaan apapun tindakan penyiksaan tidak dapat dibenarkan, sebab masuk dalam kategori non-derogable rights berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Keempat, TNI terkesan menutupi fakta dan menggeser fokus permasalahan utama dengan membangun narasi yang di luar konteks kasus. Hal tersebut terlihat dari ucapan yang menyebut bahwa kesatuan yang melakukan penyiksaan ini sebetulnya telah bertugas dengan baik dibuktikan dengan berbagai prestasi yang diraih misalnya dari Suku Asmat dan Bupati Kabupaten Puncak.

Kelima, petinggi militer di Papua kerap tidak berhati-hati dalam memberikan pernyataan ke publik ketika merespon peristiwa kekerasan yang dilakukan anggotanya terhadap warga sipil. Pola atau gaya komunikasi publik demikian menunjukan tidak profesionalnya petinggi Militer yang memberikan pernyataan tanpa basis data.

Dimas menyebutkan, situasi tersebut akan semakin sering terjadi apabila tidak ada evaluasi menyeluruh dan akuntabel terhadap kebijakan operasi militer yang dilakukan di Papua selama ini. Atas dasar uraian di atas, KontraS mendesak :

Pertama, Presiden Republik Indonesia untuk mengevaluasi total kebijakan keamanan yang selama ini diberlakukan dalam menyelesaikan konflik di Papua. Pemerintah secara perlahan harus Selain itu, pemerintah pun harus memperjelas status daerah operasi di Papua, sebab kejelasan mengenai status keamanan menjadi penting guna mengukur operasi yang diberlakukan, sebab selama ini militer kerap terlibat secara eksesif dalam langkah-langkah pengamanan dan penegakan hukum.

Kedua, Panglima TNI untuk melakukan evaluasi total penempatan anggota TNI dan kesatuan militer di Papua. Seiring dengan proses hukum yang berjalan, TNI harus bersifat terbuka dan melakukan update secara berkala terkait proses hukum yang berjalan. Selain itu, Panglima TNI beserta jajarannya pun harus memperketat pengawasan dan supervisi terhadap bawahan, terlebih yang langsung berinteraksi langsung dengan warga sipil di Papua. Adapun prajurit  harus dipastikan memahami seluruh prosedur tetap, SOP dan nilai-nilai hak asasi manusia agar kejadian kekerasan serupa tidak terulang di masa mendatang;

Ketiga, Komnas HAM untuk melakukan tindakan proaktif dengan menurunkan tim investigasi terkait pelanggaran HAM yang terjadi sesuai kewenangannya dan memperhatikan aspek keadilan bagi para korban;

Keempat, LPSK untuk melakukan tindakan responsif dengan memberikan pelayanan perlindungan bagi para korban. (UWR)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru