BerandaDaerahMerespon Situasi di Yahukimo, Kontras: Segera Hentikan Pendekatan Militeristik dan Lindungi Hak...

Merespon Situasi di Yahukimo, Kontras: Segera Hentikan Pendekatan Militeristik dan Lindungi Hak Anak!

JAGAMELANESIA.COM – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras penggunaan pendekatan keamanan dalam penanganan konflik bersenjata oleh pasukan TNI/Polri yang terjadi di kali Braza, Distrik Dekai, Kabupaten Yahukimo, Papua pada 22 Februari 2024.

Dalam peristiwa tersebut, satu anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) meninggal dunia dan 2 orang warga sipil turut ditangkap.

Penggunaan pendekatan keamanan dalam penanganan persoalan di Papua kembali memperlihatkan implikasi buruknya terhadap upaya penyelesaian konflik dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Penggunaan pendekatan tersebut berimplikasi terhadap eskalasi konflik yang terus meningkat melalui pelbagai kasus-kasus yang berujung tindakan penangkapan sewenang-wenang, kekerasan, penyiksaan dan/atau penganiayaan terhadap warga sipil orang asli papua, bahkan hingga berakibat hilangnya nyawa.

Kasus-kasus tersebut semakin mencerminkan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfil) terhadap HAM menjadi persoalan serius sebagai akibat dari penggunaan pendekatan keamanan dalam penanganan konflik di Papua.

“Kami berpendapat, apabila terjadi dugaan kejahatan, pendekatan yang mesti digunakan ialah proses hukum oleh aparat kepolisian berdasarkan hukum acara. Jika terdapat sebuah ancaman, tindakan berdasarkan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian menitik beratkan pada  tindakan yang harus dilakukan berupa kekuatan yang memiliki dampak pencegahan, perintah lisan, kendali tangan kosong lunak, kendali tangan kosong keras hingga kendali senjata tumpul. Secara bertahap upaya-upaya tersebut semestinya dilakukan secara maksimal dalam mengurai gangguan keamanan yang terjadi dengan tetap berpegangan pada prinsip nesesitas, proporsionalitas dan masuk akal (reasonable),” tulis KontraS.

Namun demikian, dalam peristiwa ini aparat keamanan justru menembak mati OG yang diduga terindikasi merupakan anggota TPNPB-OPM. Selain itu, secara khusus KontraS juga mengecam tindakan aparat yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan hukum terhadap dua orang yang ditangkap.

Dikaitkan dengan informasi serta dokumentasi berupa foto, seoran anak dan remaja diikat kedua tangannya dengan bertelanjang dada. Bahkan, terdapat sejumlah luka terbuka yang mengeluarkan darah pada lengan kiri salah seorang anak. Terdapat dugaan bahwa anak tersebut mengalami tindak penyiksaan ketika ditangkap oleh aparat TNI.

“Kami berpendapat terkait penembakan OG, terdapat indikasi pelanggaran ham yang mengarah pada bentuk pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing) yang jelas telah melanggar hak untuk hidup – hak asasi manusia paling utama yang dilindungi oleh hukum internasional dan konstitusi Indonesia – serta hak untuk bebas dari perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi sebagaimana diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12/2005,” sebutnya.

“Semestinya, aparat keamanan tidak langsung menembak mati seorang warga yang diduga melakukan tindak pidana, melainkan harus didorong menggunakan pendekatan sistem peradilan pidana (criminal justice system) dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) standar dan prinsip hak atas peradilan yang adil (fair trial),” sambungnya.

Terkait dengan penangkapan seorang anak dan remaja yakni SB (17) dan BE (18), KontraS berpendapat telah terjadi pelanggaran serius terhadap hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan bebas dari kekerasan serta diskriminasi. Padahal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menjamin bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk tindakan kekerasan. Tak hanya itu tindakan penangkapan seperti yang terjadi dalam peristiwa ini merupakan bentuk pelanggaran serius dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak/SPPA.

Terlebih, Pasal 19 ayat (1) Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memandatkan agar negara pihak harus mengambil seluruh tindakan untuk melindungi anak dari seluruh bentuk kekerasan fisik dan mental. Pendekatan kekerasan yang terus dilakukan selama ini di Papua tentu kontraproduktif dengan mandat instrumen hak anak baik di level nasional maupun internasional.

Penggunaan pendekatan keamanan dalam penanganan persoalan di Papua kembali memperlihatkan implikasi buruknya terhadap upaya penyelesaian konflik dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Penggunaan pendekatan tersebut berimplikasi terhadap eskalasi konflik yang terus meningkat melalui pelbagai kasus-kasus yang berujung tindakan penangkapan sewenang-wenang, kekerasan, penyiksaan dan/atau penganiayaan terhadap warga sipil orang asli papua, bahkan hingga berakibat hilangnya nyawa. Kasus-kasus tersebut semakin mencerminkan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfil) terhadap HAM menjadi persoalan serius sebagai akibat dari penggunaan pendekatan keamanan dalam penanganan konflik di Papua.

Atas dasar hal tersebut KontraS mendesak:

Pertama, Presiden Republik Indonesia untuk mengambil langkah-langkah strategis dan komprehensif dengan memperhatikan akar permasalahan di papua guna mencegah berlanjutnya praktik kekerasan yang membahayakan keselamatan warga sipil, termasuk melakukan evaluasi atas pendekatan keamanan yang selama ini ditempuh.

Kedua, Kapolri memerintahkan Kabareskrim c.q Karowassidik untuk melakukan pengawasan insidentil terhadap pemeriksaan warga sipil guna yang dilakukan oleh Satreskrim Polres Yahukimo guna menjamin penuh serta memastikan perlindungan harkat dan martabat terhadap salah seorang anak yang ditangkap;

Ketiga, Panglima TNI memerintahkan Komandan Pusat Polisi Militer (PUSPOM) TNI untuk segera melakukan pemeriksaan dan evaluasi menyeluruh terhadap para personil TNI AL yang diduga kuat melakukan pelanggaran ketika menangkap dua warga papua di sungai Braza.

Keempat, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) & Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan tindakan responsif dalam melindungi dua orang anak yang ditangkap dan diperiksa oleh aparat kepolisian dalam hal ini Polda Papua dan Polres Yahukimo. (Rls)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru