JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Pemerintah telah menyelesaikan satu tahapan pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dimana saat ini memasuki tahapan legislasi. Adapun Visi Indonesia Emas 2045 adalah Negara Nusantara Berdaulat, Maju dan Berkelanjutan.
Jaring Nusa yang mengadakan pertemuan ‘Ocean and Small Islands Peoples Summit 2nd’ yang berlangsung pada 7-9 September 2023 di Jakarta, diantaranya menyoroti visi Indonesia Emas yang tertuang dalam draft dokumen RPJPN 2025-2045 khususnya terkait dengan visi maritim.
Disebutkan, diantara narasi dalam dokumen draft RPJPN tersebut mengakui bahwa kontribusi masyarakat pesisir, laut dan pulau kecil telah mempraktikkan tradisi pengelolaan sumber daya laut secara berkelanjutan. Sehingga hal tersebut menjadi modal berharga dalam memperkuat narasi Indonesia sebagai negara maritim.
Dalam RPJPN juga telah ditegaskan pengembangan dan pemanfaatan kearifan lokal dan warisan budaya untuk mendorong produktivitas dan kesejahteraan. Selain itu pemberdayaan masyarakat hukum adat termasuk yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Namun, Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang kaya akan sumber keanekaragaman hayati justru memiliki jumlah penduduk miskin tertinggi berdasarkan rilis dari BPS tahun 2021 mencapai 10% dari populasi Indonesia atau berjumlah sekitar 27,54 juta jiwa. Beberapa wilayah di Indonesia yang mempunyai tingkat kemiskinan tertinggi ada di wilayah KTI yaitu Papua, Papua Barat, NTT dan Maluku.
Melansir dari Siaran Pers Walhi, 9 September 2023, dalam studi yang dilakukan oleh Bappenas, diakui terdapat 3 hal potensi laut yang belum optimal. Yaitu, tentang pengelolaan WPP dan perikanan budidaya, belum berkembangnya diversifikasi industri yang memanfaatkan sumber daya laut dan belum optimalnya tata kelola dan regulasi pemanfaatan ruang laut.
Namun anehnya, semangat RPJPN dinilai masih mengutamakan hilirasi industri terutama dari sektor pertambangan. Tentu hal ini menjadi sangat kontras dengan semangat mengedepankan kesejahteraan dan mempertahankan kearifan lokal yang terbukti telah memberikan manfaat ekonomi sekaligus ekologi yang ada di pesisir, laut dan pulau kecil.
Hal lainnya menyangkut strategi pembangunan visi maritim nusantara yang tertuang dalam draft RPJPN lebih mengedepankan kawasan timur Indonesia sebagai wilayah kepulauan penopang pembangunan dengan basis penyedia sumber daya alam di mana hal ini akan menambah kerentanan dan rawan tereksploitasi.
Jaring Nusa menilai hal ini kontradiktif dengan kebutuhan terkait perlindungan wilayah kepulauan dan laut sebagai suatu ekosistem yang terintegrasi dan merupakan penopang kehidupan masyarakat, baik itu masyarakat lokal, tradisional dan masyarakat adat.
Parid Ridwanuddin, dari Jaring Nusa yang juga merupakan pengkampanye Pesisir dan Laut Walhi memberikan tanggapan terhadap visi maritim 2045.
“RPJPN 2025-2045 akan kehilangan jangkar konstitusionalnya jika tidak memasukkan pasal 33, UUD 1945 yang memandatkan negara menguasai sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat pesisir,” dikutip dari siaran pers Walhi, Sabtu (9/9/2023).
Parid mendesak pemerintah untuk melakukan sejumlah hal dalam penyusunan RPJPN 2025-2045, yaitu: pertama, memastikan pembangunan nasional tidak menempatkan laut sebagai ruang pertarungan antara yang kuat dengan yang lemah (mare liberum); kedua, menghindari penyusunan rencana pembangunan yang bias teknokratisme, di mana pengetahuan lokal dan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat pesisir tidak ditempatkan sebagai bagian penting dalam RPJPN 2025-2045; ketiga, memastikan Undang-Undang Keadilan Iklim sebagai prioritas utama dalam RPJPN sebagai kerangka regulasi utama sekaligus mencabut beragam aturan yang akan melanggengkan kerusakan, seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba.
Parid menyerukan kepada pemerintah untuk serius dalam menyusun dan mengimplementasikan kebijakan tersebut di tengah situasi pesisir, laut dan pulau kecil yang semakin kritis seperti semakin cepatnya kenaikan temperatur air laut.
“Anehnya pemerintah tidak punya sense of crisis. Di Lapangan terus diperluas berbagai proyek yang merusak pesisir, laut, dan pulai kecil. Dampaknya telah terlihat. Desa-desa pesisir semakin banyak yang tenggelam. Tahun 2045 lebih layak disebut sebagai Indonesia cemas, bukan indonesia emas,” tegasnya.
Oleh sebab itu, terkait penataan ruang laut dan rencana zonasi pesisir serta pengelolaan ruang laut, organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaring Nusa mendesak pemerintah untuk:
- Mengakui dan melindungi hak serta akses terhadap wilayah kelola laut oleh masyarakat adat, tradisional dan lokal.
- Melibatkan masyarakat adat, tradisional dan nelayan kecil untuk terlibat dalam perumusan, perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang laut.
- Mengakui dan melindungi hak wilayah kelola desa, masyarakat lokal, tradisional dan masyarakat adat di pesisir, laut serta pulau kecil. (UWR)