PAPUA BARAT, JAGAMELANESIA.COM – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK) diminta segera melakukan audit menyeluruh terhadap bisnis perusahaan kayu Alamindo Group di wilayah Papua Barat. Desakan ini datang dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (Pusaka) yang menduga pihak perusahaan melakukan praktik monopoli bisnis penguasaan konsesi skala luas yang melebihi ketentuan sesuai aturan yang berlaku.
“Patut diduga Alamindo Group sedang melakukan praktik monopoli bisnis pembalakan kayu dan hasil hutan lainnya dengan penguasaan konsesi skala luas yang melebihi ketentuan. Penguasaan skala luas dilakukan melalui anak perusahaan. Hal ini menggambarkan buruknya tata kelola kehutanan yang tidak mempertimbangkan aspek keadilan, pemerataan, daya dukung dan daya tampung, dan kelestarian hutan,” jelas Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, dikutip dari laman resmi Pusaka, Jumat (11/8/2023).
Franky menyampaikan, perusahaan kayu Alamindo Group memiliki beberapa perusahaan kayu di wilayah Papua Barat yakni: (1) PT. Prabu Alaska yang konsesinya berada di Kabupaten Fakfak dan Kaimana, dengan luas 415.240 hektar; (2) PT. Rimbakayu Arthamas yang konsesinya berada di Kabupaten Teluk Bintuni dan Pegunungan Arfak, dengan luas 130.400 hektar; dan perusahaan industri kayu olahan (3) PT. Karas Industri Papua yang berkedudukan di Kabupaten Kaimana, di Distrik Karas, Kabupaten Fakfak, di atas lahan seluas 28 hektar.
Menurutnya, total areal konsesi pengusahaan hasil hutan yang kini dimiliki Alamindo Group seluas 585.640 hektar dan apabila Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) PT Hutan Hijau Papua Barat (HHPB) diterima, maka keseluruhan areal konsesi yang dimiliki seluas 677.788 hektar.
Pasalnya, berdasarkan hasil desk research Yayasan Pusaka Bentala Rakyat tahun 2023 diduga perusahaan PT HHPB memiliki hubungan yang kuat dan/atau menjadi bagian dari grup perusahaan PT Alamindo Lestari Sejahtera Group dan/atau PT Alamindo Bumi Hijau Group (Alamindo), yang berkantor di Wisma Intra Asia, Jl. Prof. Dr. Soepomo No. 58, RT.5/RW.1, Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan.
Selain itu, Berdasarkan dokumen data Profil Ditjen AHU, Kemenkumham, dan publikasi Alamindo Group diketahui pemilik saham Alamindo Group adalah Juan Mulya dan Darius Audryc Mulia, dan perusahaan Best Fortune 169 Co.,Ltd, berbasis di Taiwan. Ditemukan pula, Adi Gunawan sebagai Komisaris Utama Alamindo Group dan juga menjabat sebagai Komisaris sekaligus pemilik modal dari PT HHPB.
“Praktik monopoli pengusahaan hasil hutan skala luas ini bertentangan dengan ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021, Pasal 97 ayat (1), yang mengecualikan pembatasan luas PBPH pada Hutan Produksi di wilayah Papua paling luas 100.000 hektar,” katanya.
Menurutnya, negara telah mengatur batas maksimum penguasaan sumber daya alam untuk komoditas produksi komersial dalam skala luas tertentu dan melarang praktik monopoli yakni pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha, melalui penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu.
Dirinya menyebutkan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang praktik monopoli. Kemudian, ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021, Pasal 96 dan 97, memberikan pembatasan luasan dan jumlah Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Pembatasan penguasaan asset produksi ini untuk tujuan keadilan ekonomi dan kesejahteraan rakyat banyak.
Selain itu, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, mengatur bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6) dan untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (Pasal 7). Larangan Monopoli juga bertujuan untuk menjaga kepentingan umum dan persaingan usaha tidak sehat.
Saat ini, Pusaka dan LMA Malamoi juga meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan membatalkan pemberian izin PT Hutan Hijau Papua Barat. Pasalnya, sejak pertengahan Juli 2023, masyarakat adat di kampung dan di kota Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, yang terancam dan terdampak oleh rencana perusahaan kayu PT Hutan Hijau Papua Barat (HHPB), melakukan aksi protes menolak rencana perusahaan PT HHPB dan izin arahan yang dikeluarkan pemeritah daerah.
Puluhan perwakilan warga Suku Moi protes dan menyampaikan petisi penolakan masyarakat adat dihadapan pejabat Dinas Lingkungan Hidup dan pemimpin perusahaan PT HHPB saat melakukan konsultasi AMDAL di gedung Serbaguna Drei Kinder, Kota Sorong, pada 17 Juli 2023. Aksi penolakan warga terus berlangsung mulai dari pelataran alun-alun Aimas di Kabupaten Sorong, meluas ke kampung-kampung di Distrik Salkma, Sayosa, Sayosa Timur, Wemak dan Klayili.
Pusaka dan LMA Malamoi juga telah mengirimkan surat pengaduan yang disampaikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di Jakarta (02/08/2023), terkait penertiban Surat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.40/PDLUK/P2T/PLA.4/2023 tanggal 6 Januari 2023 tentang Arahan Persetujuan Lingkungan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi kepada PT Hutan Hijau Papua Barat untuk usaha pembalakan kayu hutan alam di Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan seluas 92.148 hektar.
“Menteri LHK dan OPD terkait, harus melakukan audit kepatuhan secara menyeluruh terhadap perusahaan Alamindo Group dan bermusyawarah dengan masyarakat adat, sebelum memberikan izin kepada PT HHPB. Audit kepatuhan menyeluruh ini menyangkut tanggung jawab dalam legalitas usaha pemanfaatan dan penatausahaan hasil hutan kayu, kewajiban pembayaran pajak, tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan, uji tuntas Hak Asasi Manusia dengan mengidentifikasi dampak sosial dan lingkungan, dan tindakan pencegahannya”, kata Franky Samperante.
“Audit kepatuhan ini diharapkan dapat melibatkan masyarakat terdampak dan dilakukan secara terbuka, termasuk hasil dan sanksi atas pelanggaran disampaikan ke publik,” ujarnya. (UWR)