Ternate – Rencana Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Halmahera Barat (Halbar), terkait dengan pemberian ruang kepada pihak investor untuk membuka lahan pertambangan, dalam hal ini tambang emas di Nulo Loloda, mendapat sorotan dari Direktur Lembaga Sosial, Ekonomi dan Energi (SENERGI) Indonesia, Isra Anwar.
Kepada media ini, Rabu (12/3), Isra Anwar, mengungkapkan bahwa kebijakan Pemda Halbar atas pembukaan tambang emas, yang direncanakan berlokasi di Nulo Loloda ini, hanya akan memicu dampak negatif pada sektor lain, yang selama ini menjadi sumber pendapatan serta perekonomian masyarakat setempat.
Lanjut Isra, salah satu dampak terbesar dari kebijakan Pemda Halbar ini, yakni akan terjadi pengurangan luas lahan pertanian akibat alih fungsi lahan menjadi wilayah pertambangan dimaksud.
“Halmahera Barat memiliki potensi besar dalam sektor pertanian, yang telah menjadi komoditas utama bagi petani lokal. Namun dengan kebijakan Pemda atas pembukaan tambang emas ini, akan mengakibatkan banyaknya pengurangan lahan produktif, dikarenakan beralihfungsi menjadi kawasan eksploitasi tambang,” ujar Isra.
Menurut, Isra, jika kebijakan Pemda ini dilanjutkan maka tidak hanya berdampak pada produksi hasil pertanian, tetapi juga mengancam ketahanan pangan lokal serta keberlanjutan ekonomi masyarakat yang bergantung pada sektor ini.
“Selain pertanian, sektor perikanan juga terancam akibat ekspansi pertambangan, sebab limbah industri tambang yang mengandung logam berat seperti merkuri dan sianida, ini berpotensi mencemari sungai serta laut di sekitar kawasan tambang,” terangnya.
Dari pencemaran ini lanjut, Isra, akan berdampak langsung pada hasil tangkapan nelayan, serta kualitas air yang digunakan oleh masyarakat pesisir pun akan bermasalah, terutama persoalan kesehatan masyarakat itu sendiri.
Isra, menambahkan bahwa keberadaan industri pertambangan ini, sering kali dijanjikan sebagai solusi untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam banyak kasus terutama di Provinsi Maluku Utara, industri pertambangan justru menciptakan ketimpangan ekonomi yang lebih besar.
“Hal ini dikarenakan mayoritas tenaga kerja yang dibutuhkan oleh perusahaan tambang adalah pekerja dengan keterampilan tinggi, yang sering kali didatangkan dari luar daerah, sementara masyarakat lokal hanya mendapatkan pekerjaan sebagai buruh kasar dengan upah rendah,” tegas Isra.
Lebih lanjut, Isra, menyarankan kepada Pemda Halbar, agar memikirkan berbagai dampak negatif dari industri pertambangan, guna dipertimbangkan demi keseimbangan pembangunan ekonomi, tidak hanya bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga mengembangkan sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata secara berkelanjutan.
“Pemda Halbar sudah seharusnya mulai memikirkan kebijakan ekonomi, yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek dari pertambangan. Kita perlu investasi di sektor-sektor yang lebih berkelanjutan dan berbasis masyarakat lokal,” tutup Isra.