Ternate – Hadirnya Perusahaan tambang milik investor asing di wilayah Provinsi Maluku Utara (Malut), ibarat drakula penghisap darah dimana perusahan-perusahan tambang tersebut, seakan menyedot Sumber Daya Alam (SDA) tanpa belas kasih di tengah carut marutnya perekonomian daerah saat ini.
Djainudin Abdullah, salah satu tokoh pemekaran Provinsi Maluku Utara, kepada media ini Sabtu (8/2), menyampaikan keresahannya ditengah pertumbuhan ekonomi Malut yang carut marut, hingga berdampak buruk pada kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat kelas menengah kebawah.
“Banyaknya perusahan tambang milik investor asing yang bercokol di atas bumi Al Mulk, Moloku Kie Raha, namun tidak mampu membawa manfaat yang signifikan bagi masyarakat pribumi, melainkan hanya mengeruk hasil bumi dan melemahkan sendi-sendi perekonomian masyarakat,” ujar Udin sapaan akrab Djainudin Abdullah.
Menurut Udin, pemilik saham pada SDA Malut, sesungguhnya adalah masyarakat pribumi. Namun ironisnya jika pemegang saham SDA Malut yakni masyarakat pribumi, justru miskin secara ekonomis di atas limpahan SDA yang begitu banyak.
“Hal ini tentu ada yang salah dalam pengelolaan tambang di Malut, sehingga perlu ada perhatian khusus dari pemerintah,” tegasnya.
Lebih lanjut Udin, menegaskan bahwa lemahnya perekonomian masyarakat Malut ini, salah satu penyebabnya yakni banyaknya limbah industri pertambangan, yang ditinggalkan oleh perusahan tambang dimana limbah-limbah tersebut, hanya dapat menyebabkan wabah penyakit yang dapat menyerang keselamatan dan kesehatan masyarakat, khusunya masyarakat yang berada pada kawasan pertambangan itu sendiri.
Sementara itu, Arsad S. Sangadji, yang juga merupakan aktivis pejuang Provinsi Malut, menegaskan bahwa investasi dibelahan dunia mana pun, pelibatan pelaku usaha dalam turunan bisnis industri besar selalu melibatkan pelaku usaha lokal, bukan membiarkan pelaku usaha lokal tersingkirkan dari kemegahan industri tambang dimaksud.
“Olehnya itu, Arsad meminta dengan tegas kepada DPRD Malut, agar segera mendesak Pemprov Malut guna merumuskan satu Peraturan Daerah (Perda), yang mengatur perlindungan Usaha Mikro dan Kecil di Malut, untuk menjadi mitra utama dari industri tambang.
“jangan biarkan orang luar Malut menari nari diatas kekayaan alam Malut,” pungkas Arsad.
Senada dengan Arsad, Mujmin salah satu aktivis yang juga merupakan fungsionaris PKB Halmahera Tengah (Halteng) mengaku bahwa PT. IWIP, selama ini memasok kebutuhan bahan pangan dari luar Malut, baik itu dari Surabaya, Makassar maupun Manado.
“Sementara itu petani lokal di Halteng harus membawa produk hasil pertanian ke Ternate untuk di jual, meski banyaknya industri yang ada di wilayah Halteng,” beber Mujmin.
Mujmin, menjelaskan bahwa problem yang di hadapi petani tidak ada supplier lokal, yang dapat menjamin hasil pertanian perikanan dan peternakan, sehingga produk-produk yang dihasilkan tidak bisa di pasarkan di dalam industri, khusunya di PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).
“Contoh kecil dalam bulan Februari ini akan ada produksi buah Semangka sekitar 10 ton, produksi buah Melon dan produk hasil tani lainya, namun petani kesulitan mencari pasar, sebab supplier dari luar lebih memprioritaskan produk dari luar, sedangkan supplier anak-anak Malut justru tidak mendapat tepat di PT. IWIP,” tutup Mujmin.