BINTUNI, JAGAMELANESIA.COM – Empat marga besar yakni Samaduda, Waney, Werbete dan Efredire pada 15 Januari 2025 mendatangi lokasi kerja yang menjadi operasi tebangan PT. Wijaya Santosa. Kedatangan para petuanan ini adalah untuk menunjuk batas ‘makan’ mereka secara patok alam.
Sedangkan, pihak perusahaan juga menyediakan peta penebangan yang telah diizinkan oleh pemerintah untuk ditebang. Pantauan awak media di lokasi penebangan PT. Wijaya Sentosa atau RKT 2025 hutan adat masyarakat nampak telah dibuka dengan serangkaian aktivitas perusahan dari penebangan, penarikan kayu hingga pemuatan sedang berjalan lancar.
“Saya sedih dengan hutan saya kini sudah rusak. Saya bingung mau bicara apa karena pemerintah sudah mengeluarkan izin kepada perusahan, hanya saja kenapa pemerintah tidak bisa naikkan harga kubikasi kayu? Jadi kalua hutan kami dikelola, dampak ekonomi kami juga harus bisa baik. Pemerintah kenapa menaruh bumerang kepada kami masyarakat adat, hutan kami menjadi tujuan investasi tapi dampak pembangunan pada kami daerah penghasil tidak ada sama sekali,” ujar salah seorang petuanan, Yakop Werbete.
“Saya minta kepada bapak Presiden Prabowo dan pak Wakil Presiden kalau bisa hentikan operasi kayu bulat dan bangunkan kami pabrik triplex di wilayah Kuri, kami siapkan lokasinya bapak presiden. Bapak silakan turun dan lihat hutan kami rusak. Kami mau bersuara tapi kami tidak tahu mau bicara darimana, kami terbatas bapak,” katanya.
Ia menambahkan, kondisi di daerah pinggiran sungai dan lereng sekitar areal kerja sepanjang Sungai Naramasa dan Sungai Wagen rusak. Menurutnya, bukit dan lembah telah tersapu alat berat dan habitat yang menjadi rumah bagi satwa seperti rusa, babi, Kasuari dan Cendrawasi pun hilang.
“Saya juga mendengar suara Cendrawasih mulai menjauh karena bising dari suara senso dan bunyi alat berat traktor penarik kayu. Di sisi lain pembuatan jalan untuk dilewati truk pemuat kayu menggusur bukit-bukit dan ditimbun untuk jalan, banyak pohon-pohon berukuran kecil dan besar lainnya digusur, roboh, patah dan diinjak dengan alat berat menjadi puing-puing yang tidak lagi dimanfaatkan. Kayu-kayu besar ditancapkan pada perut bumi untuk menahan tanah demi keamanan bagi truk pemuat kayu bulat,” ungkap yakop.
“Sebagian kayu bulat berukuran 80 dan 60 dibentangkan di atas anak-anak sungai dijadikan jembatan. Hutan menjadi rusak warga mengeluh tapi terbatas pengetahuan mereka untuk bisa menghentikan produksi, izin dikantongi perusahaan namun harga tidak sesuai keinginan masyarakat adat. Masyarakat hanya pasrah dengan keadaan dan kondisi yang ada,” tutupnya. (Maikel Werbete)