MERAUKE, JAGAMELANESIA.COM – Masyarakat adat di Merauke yang tergabung dalam Solidaritas Merauke meminta pemerintah menghentikan Proyek Strategis Nasional (PSN) di daerahnya. Masyarakat menilai bahwa keberadaan PSN tersebut tidak sejalan dengan hak asasi manusia dan mengancam lingkungan hidup.
“Kami berpandangan dan menilai kebijakan dan proyek PSN Merauke bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hak asasi manusia, hak masyarakat adat hak petani, hak atas tanah, hutan dan air, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas pembangunan, hak atas pangan dan gizi, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kami menolak proyek PSN Merauke karena menimbulkan pelanggaran HAM serius, hak hidup Orang Asli Papua dan kerusakan lingkungan hidup,” sebutnya Solidaritas Merauke dalam Surat Pernyataannya, dikutip Rabu (18/12/2024).
Atas keberadaan PSN itu, masyarakat adat yang mewakili sejumlah suku yang terdampak menyampaikan sejumlah pernyataan.
“Kami perwakilan masyarakat adat Malind, Makleuw, Yei dan Khimaima yang terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke, Forum Masyarakat Adat Marind Kondo Digul dan aktivis Pembela Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup, yang tergabung dalam Solidaritas Merauke, menyampaikan pandangan dan pernyataan terkait keberadaan kebijakan dan penerapan PSN Merauke, sebagai berikut:
1. Bahwa kebijakan PSN Merauke diterbitkan tanpa ada kesepakatan luas masyarakat berdasarkan prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent) yakni persetujuan masyarakat berdasarkan informasi sejak awal proyek dan tanpa ada paksaan, manipulasi dan rayuan, melainkan secara sadar dan bebas.
2. Bahwa kebijakan dan proyek PSN Merauke diterbitkan tanpa disertai kajian sosial dan lingkungan hidup yang memadai, serta melibatkan masyarakat adat terdampak langsung dan tidak langsung. Hingga saat ini, kami belum mendapatkan dan memperoleh bahan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan dokumen lingkungan hidup lainnya.
3. Bahwa pemerintah dan perusahaan Jhonlin Group, serta 10 perusahaan perkebunan tebu dan bioethanol, telah mengoperasikan alat dan sumber daya untuk menggusur kawasan hutan, savana, rawa dan lahan gambut, hingga mengakibatkan terjadinya pengrusakan, penggundulan dan penghilangan kawasan hutan dan lahan, rawa, savana dan lahan gambut, tempat sumber mata pencaharian, sumber pangan, tempat penting dan sakral, dalam jumlah luas lebih dari 10.000 hektar dan dapat mencapai jutaan hektar.
4. Bahwa pemberian izin usaha dilakukan secara tertutup dan diduga terjadi praktek, kolusi dan nepotisme, tidak adil dan monopoli, hanya menguntungkan kelompok dan orang tertentu. Terjadi pengambilalihan tanah dan hutan adat dalam skala luas hingga dapat melebihi 2 juta hektar.
5. Bahwa pemerintah nasional, kementerian dan Panglima TNI sepemahaman membuat kebijakan, membentuk dan menggunakan aparat militer TNI dalam PSN Merauke, termasuk memfasilitasi proses pengalihan hak atas tanah dan pengamanan proyek cetak sawah baru. Keberadaan dan aktivitas aparat militer telah menimbulkan rasa tidak aman dan tekanan psikis bagi masyarakat di kampung.
Oleh sebab itu, solidaritas meminta kepada pimpinan DPD RI, Ketua Komite II DPD RI dan anggota DPD RI Provinsi Papua Selatan agar mendesak Presiden RI, Kementerian dan Lembaga Negara terkait PSN Merauke untuk menghentikan proyek ini.
“Kami meminta kepada pimpinan DPD RI, Ketua Komite II DPD RI dan anggota DPD RI Provinsi Papua Selatan, untuk menyampaikan hasil Kunjungan Kerja dan diumumkan ke media nasional dan daerah. Kami meminta juga agar pimpinan DPD RI untuk aktif memperjuangkan keadilan, pemajuan penghormatan dan perlindungan hak dasar dan kesejahteraan masyarakat adat, serta keberlanjutan lingkungan hidup,” tutupnya. (UWR)