BerandaDaerahDinilai Gagal Hormati Hak Masyarakat Adat, Pemerintah Didesak Hentikan PSN di Merauke

Dinilai Gagal Hormati Hak Masyarakat Adat, Pemerintah Didesak Hentikan PSN di Merauke

JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Solidaritas Merauke mendesak Presiden RI bersama Menteri Pertahanan, Menteri Pertanian dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, segera menghentikan Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke untuk pengembangan pangan dan energi yakni pengembangan kebun tebu dan bioetanol, serta proyek cetak sawah baru sejuta hektar.

Aspirasi ini disampaikan dalam aksi unjuk rasa yang dilakukan di depan Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta (16/10/2024). Solidaritas menilai PSN ini merampas hak hidup Orang Asli Papua dan meningkatkan krisis lingkungan hidup.

Dalam rilis PUSAKA (1/11), praktik PSN Merauke untuk proyek cetak sawah baru dan tanaman lain dikelola oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian, dan perusahaan swasta Jhonlin Group milik Haji Andi Syamsuddin Arsyad alias haji Isam, dengan lahan seluas 1 (satu) juta hektar.

PSN Merauke lainnya yakni pengembangan perkebunan tebu dan bioetanol dikelola 10 perusahaan dengan lahan seluas lebih dari 500.000 hektar dan didukung Satgas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol.

“Proyek berlangsung brutal, tanpa ada sosialisasi dan tanpa didahului konsultasi mendapatkan kesepakatan persetujuan masyarakat adat, kendaraan excavator dan bulldozer perusahaan masuk ke wilayah adat kami, amuk, menggusur dan menghancurkan hutan alam, dusun dan rawa,” ujar tokoh agama dan pemilik tanah adat, Pastor Pius Manu.

Solidaritas menyampaikan, aparat keamanan TNI dan Polri mengawal masuknya kendaraan dan operasi penghancuran hutan untuk proyek cetak sawah baru di Wanam, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke. Masyarakat adat membuat tanda adat larangan tapi eskavator menabrak dan merobohkan sasi adat.

“Kami terluka dan berduka karena tanah dan hutan adat, tempat hidup binatang dan tempat sakral Alipinek yang kami lindungi, yang diwariskan oleh leluhur kami, dihancurkan tanpa tersisa”, ungkap Yasinta Gebze, perwakilan masyarakat adat terdampak dari Kampung Wobikel, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.

Sementara itu, di daerah Distrik Jagebob dan Senayu, perusahaan perkebunan tebu dalam konsorsium Global Papua Abadi (GPA) Group disebut tidak menunjukkan komitmen usaha berkelanjutan untuk tidak melakukan deforestasi dan gagal menghormati hak-hak masyarakat adat. Perusahaan menggunakan aparat keamanan dan orang tertentu melakukan tekanan terhadap masyarakat, merayu dan janji kompensasi uang, agar masyarakat menyerahkan tanah.

“Kami tidak jual tanah adat, hutan dan dusun milik marga tidak luas, kami mau kelola sendiri untuk mata pencaharian dan sumber pangan, hingga anak cucu”, ungkap Vincent Kwipalo, warga Suku Yei yang menolak proyek perkebunan tebu, meskipun perusahaan telah mematok tanahnya dan membuat surat pengalihan hak atas tanah.

Franky Samperante, aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup menyampaikan bahwa kebijakan dan pelaksanaan proyek food estate PSN Merauke, tanpa pemberian informasi yang jelas dan cenderung tertutup, tidak menghormati otoritas dan norma adat, tanpa ada kajian sosial dan lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam konstitusi dan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Disebutkan, penggusuran, penghancuran dan penghilangan hutan, dusun, rawa dan lahan gambut dalam skala luas akan meningkatkan krisis lingkungan, yang sedang menjadi sorotan masyarakat bumi.

“Areal cetak sawah baru sejuta hektar dan perkebunan tebu GPA Group berlokasi pada kawasan hutan dan berada pada daerah moratorium izin atau Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB). Areal GPA Group lebih dari 30 persen atau sekitar 145.644 hektar berada di PIPIB, karenanya proyek ini mempunyai resiko lingkungan hidup utamanya meningkatkan emisi gas rumah kaca, yang secara kumulatif meningkatkan krisis ekologi. Selain itu, izin perusahaan GPA sebagian besar berada di wilayah adat masyarakat hukum adat Yeinan seluas 316.711 hektar dan beresiko secara sosial ekonomi dan budaya”, katanya.

Menurut Solidaritas Merauke, prinsip dan ketentuan pembangunan berkelanjutan mewajibkan perencana dan pelaksana pembangunan memiliki dokumen lingkungan, melaksanakan kajian penilaian kawasan bernilai konservasi tinggi dan penilaian ketersediaan karbon tinggi, serta menerapkan prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent).

“Proyek PSN Merauke harus dihentikan karena melanggar konstitusi dan peraturan yang berkenaan dengan hak hidup, hak masyarakat adat, hak atas tanah, hak bebas berpendapat, hak atas pembangunan, hak atas pangan dan gizi, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta prinsip tujuan pembangunan berkelanjutan”, jelas Teddy Wakum, juru bicara Solidaritas Merauke dan aktivis LBH Papua Pos Merauke.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru