BerandaPendidikanFenomena Perundungan Marak, Senator Filep Sarankan Kampus Wajib Punya Psikolog

Fenomena Perundungan Marak, Senator Filep Sarankan Kampus Wajib Punya Psikolog

Fenomena perundungan masih kerap terjadi di lingkungan Pendidikan Indonesia. Tak hanya di lingkungan sekolah bahkan kasus perundungan di perguruan tinggi seringkali kita dengar. Pelaku yang menindas umumnya merasa memiliki harga diri yang tinggi dan keinginan untuk menunjukkan kecakapan sosial.

Menurut Faris dan Felmlee (2011), Anak-anak yang melakukan perundungan mendorong anggota kelompok disekitarnya untuk bersatu. Bersatu menurut mereka ialah untuk mendefinisikan siapa diri mereka dengan menjadikan target mereka sebagai kambing hitam, serta untuk menjaga kohesi dan identitas bagi kelompok mereka. Perundungan dan agresi adalah fenomena diadik atau kelompok. Sasaran perilaku dalam konteks tertentu, misalnya persoalan teman sebaya yang disukai versus yang tidak disukai. Bias atribusi antara satu dengan yang lain inilah yang menjadi sumber utama dalam perundungan. Sebagai contoh, teman sebaya yang ditolak dan tidak populerlah yang akan didukung oleh teman sekelas untuk dilecehkan.

Pada kasus di Indonesia, para pelaku umumnya adalah kelompok yang merasa superior misalnya senior kelas, orang yang dilekatkan pada kekayaan orangtua, jabatan orangtua, jabatan di dalam kelompoknya dan atribut lain yang mendukung secara fisik, material, psikologis dan sosial. Sayangnya, institusi Pendidikan masih belum sigap menanggapi maraknya fenomena perundungan di lingkungan Pendidikan. Padahal, negara telah mengatur secara jelas terkait perundungan yakni pada Pasal 310 dan 311 KUHP tentang Perundungan yang dilakukan di tempat umum dan mempermalukan harkat martabat seseorang. Atas dasar itulah, institusi Pendidikan sudah selayaknya memberikan perhatian lebih pada persoalan perundungan dan menyediakan Standar Operasional Prosedur jika terjadi kasus di lingkungan sekolah atau perguruan tinggi.

Hal lain yang penting untuk ditindaklanjuti ialah hasil penelitian Olweus (1978), yang menyebut bahwa baik pelaku maupun korban perundungan/bullying tidak sepenuhnya bebas dari masalah kesehatan mental. Namun pelaku umumnya lebih fungsional, lebih mungkin menggunakan agresi proaktif, dan lebih mungkin memiliki jaringan sosial yang luas daripada korban bullying. Sementara korban, menggunakan prilaku pasif dalam kebayakan kasus. Atas persoalan tersebut, maka jika institusi Pendidikan memiliki SOP dan menyediakan psikolog yang layak, maka baik korban dan pelaku sudah selayaknya mendapat “pengobatan” mental, sehingga siklus perundungan tidak terjadi lagi dan korban serta pelaku dapat disembuhkan.

Institusi Pendidikan juga seharusnya menyadari bahwa lingkungan Pendidikan yang sehat adalah hubungan yang saling percaya, saling mendukung, bebas dari penggunaan kekuasaan tertentu serta bebas dari kekerasan fisik maupun verbal. Perilaku destruktif sekecil apapun adalah upaya yang dapat merusak mental masyarakat Indonesia yang akhirnya akan menghambat kemajuan Sumber Daya Manusia Indonesia. (Filep Wamafma, Ketua Komite III DPD RI yang membidangi Pendidikan, Budaya dan Agama)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru