BerandaDaerahPotret Otsus di Kabupaten Teluk Bintuni, Fakta dan Realita Kehidupan Sosial Masyarakat...

Potret Otsus di Kabupaten Teluk Bintuni, Fakta dan Realita Kehidupan Sosial Masyarakat Tujuh Suku

BINTUNI, JAGAMELANESIA.COM – Pemerintah secara resmi, pada 19 Juli 2021, menerbitkan Lembaran Negara yang berisi UU Nomor 2 tahun 2021. UU itu merupakan perubahan kedua UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Lembaran Negara itu diterbitkan tepat lima hari setelah DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 21 tahun 2001, pada Paripurna DPR RI ke-23, masa persidangan V tahun sidang 2020-2021, pada Kamis, 15 Juli 2021. Paripurna DPR itu dihadiri 492 dari 575 anggota dewan dengan rincian 51 hadir secara fisik dan 440 hadir secara daring.

Ketua Pansus Otsus Papua DPR RI Komarudin Watubun dalam laporannya mengatakan, terdapat 20 pasal dalam UU nomor 21 tahun 2001 sebelumnya yang mengalami perubahan. Sebanyak 20 pasal tersebut terdiri dari 3 pasal usulan pemerintah yang memuat materi mengenai dana otsus Papua, sebanyak 15 pasal di luar substansi yang diajukan, ditambah 2 pasal substansi materi di luar undang-undang.

Dalam perubahan tersebut, dalam UU yang baru itu mengakomodir perlunya pengaturan kekhususan bagi orang asli Papua (OAP) dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan perekonomian serta memberikan dukungan bagi pembinaan masyarakat adat.

Dalam bidang politik, hal ini dapat dilihat dengan diberikannya perluasan peran politik bagi OAP dalam keanggotaan di dewan perwakilan rakyat kabupaten/kota (DPRK), sebuah nomenklatur baru pengganti DPRD yang diinisiasi dalam UU baru.

Selain itu, dalam UU ini diatur pula mengenai dana otsus yang disepakati mengalami peningkatan dari dua persen dana alokasi umum (DAU) nasional, menjadi 2,25 persen. Melalui perubahan tata kelola dana otsus tersebut, diharapkan berbagai persoalan pembangunan selama ini dapat teratasi.

Realita yang ada saat ini khusus di kabupaten teluk Bintuni telah dilaksanakan keanggotaan di dewan perwakilan rakyat kabupaten/kota (DPRK), sebuah nomenklatur baru pengganti DPRD yang diinisiasi dalam UU baru. Saat ini sedang berjalan mekanisme pengangkatan DPRK jalur Otsus.

“Namun yang menjadi pertanyaan saat ini bagi Masyarakat di tujuh suku adalah kenapa kami yang masyarakat tujuh suku yang tergolong mendominasi suku terbanyak diberikan kuota kursi DPRK hanya Lima kursi, sementara di kabupaten/kota yang lain yang memiliki suku dua ataupun 3 suku mendapatkan kuota kursi yang banyak,” ujar Maikel Werbete, salah seorang warga asli Bintuni.

“Ironisnya kuota kursi yang diberikan kepada masyarakat tujuh suku menjadi rebutan oleh tujuh suku yang ada. Dimana setiap sub suku hampir memiliki lebih kurang 12 Marga yang mendiami tanah adat mereka masing-masing, dan kenyataamnnya hanya ada lima kursi untuk lima suku,” sambungnya.

Salah satu tokoh masyarakat adat saat ditemui awak media mengatakan kondisi ini merupakan fakta dan realita terkait pembinaan politik dan hubungan masyarakat adat dalam sebuah kelembagaan yang perlu menyikapi kuota kursi pengangkatan DPRK di kabupaten Teluk Bintuni

“Kami semua tahu bahwa mekanisme pengangkatan calon DPRK ini adalah hajat pesta rakyat kepada kami orang asli Papua, tapi kenapa kami suku yang lain tidak terlibat, apa masalahnya, apa karena kami ada pada bursa DPRD atau MRP, atau pernah di DPR Otsus sehingga kami dibatasi. Sungguh malang nasib kami orang Papua ini diberikan Otsus tapi pembinaan politik yang salah ataukah kami yang salah tafsir terhadap Otsus itu sendiri terutama bursa Otsus jalur pengangkatan ini,” ujar salah seorang tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya.

Ia menambahkan, pihaknya berharap ke depannya kabupaten Teluk Bintuni mendapatkan kuota kursi sesuai jumlah suku yang ada yang mendiami tanah sisarmatiti terebut. Di lain sisi menurutnya, Otsus sendiri selama kurang lebih 10 tahun terakhir ini khususnya di kota Bintuni belum menyentuh masyarakat tujuh suku.

“Nah padahal banyak kelembagaan suku, organisasi-organisasi kemasyarakatan yang mengatas-namakan OAP, forum-forum pemuda, yang mengatasnamakan OAP, namun realita dan faktanya masih banyak orang Papua khususnya tujuh suku mengalami kesulitan ekonomi,” pungkasnya. (MW)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru