JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Surat Presiden (Surpres) terkait beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU), salah satu diantaranya adalah RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri).
Terkait hal itu, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa pihaknya telah menerima Surpres itu dan menyampaikan bahwa proses pembahasan akan segera dilanjutkan. Hal itu disampaikannya pada Selasa, 8 Juli 2024 lalu.
Penerbitan Surpres RUU Polri ini turut menyita perhatian publik beberapa waktu belakangan. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai bahwa terbitnya Surpres itu menunjukkan arogansi Presiden Joko widodo dalam penyusunan regulasi. Presiden Jokowi dipandang kembali mengabaikan prinsip konstitusi dan kedaulatan rakyat dalam penyusunan undang-undang.
“Proses perencanaan dan penyusunan RUU Polri oleh DPR yang sembunyi-sembunyi, tergesa-gesa dan tidak memberikan ruang partisipasi bermakna kepada publik yang jelas-jelas melanggar aturan main demokrasi dan konstitusi justru disambut mesra oleh Presiden dengan dukungan surat Presiden. Pada akhirnya, proses pembahasan RUU Polri di DPR hanya akan mengukuhkan praktik Legislasi Otoriter dan melegitimasi kepentingan politik pemerintahan jokowi untuk memperkuat kekuasaan dan kendali terhadap ruang publik masyarakat,” sebut koalisi, dikutip dari rilis Kontras, Selasa (9/7/2024) berjudul ‘Penerbitan Surpres RUU Polri: Bentuk Arogansi Presiden Jokowi yang Menelantarkan Kritik Publik dan Mengukuhkan Praktik Legislasi Otoriter.
Lebih lanjut Koalisi menilai bahwa RUU ini secara jelas bukan untuk melindungi rakyat tapi hanya dibuat untuk melindungi kepentingan kekuasaan. Menurut koalalisi ini, RUU tersebut juga bukan untuk melakukan koreksi terhadap institusi kepolisian yang bermasalah dan gagal dalam mereformasi institusi paska reformasi.
“Jika nantinya disahkan hanya akan menjadi legitimasi upaya paksa negara melalui aparat kepolisian kepada rakyat seperti penyadapan, memata-matai rakyat bahkan kriminalisasi termasuk politisasi dan multifungsi kepolisian. Betapa tidak, di tengah brutalitas dan buruknya kinerja kepolisian untuk melindungi rakyat yang nampak dalam berbagai kasus. DPR RI dan Presiden yang akan berakhir masa jabatannya pada Oktober 2024 nanti justru akan memberikan berbagai hadiah kewenangan baru kepada Kepolisian RI, bahkan tanpa mekanisme pengawasan dan kontrol yang memadai. Padahal, kewenangan besar tanpa kontrol hanya akan melahirnya korupsi dan kesewenang-wenangan,” sambungnya.
Tak hanya itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai bahwa diterbitkannya Surpres RUU Polri tersebut lagi lagi adalah wujud penelantaran terhadap berbagai kritik publik yang gencar menyorot proses legislasi yang sembunyi-sembunyi dan bermasalah. Terlebih, koalisi memandang bahwa substansi RUU Polri ini sarat kepentingan elit.
“Langkah Presiden Joko Widodo yang mengirimkan surat presiden ini patut dinilai sebagai tindakan yang mengkhianati demokrasi dan konstitusi. Langkah Presiden dan DPR RI selain telah mengerdilkan cara-cara demokratis dengan memaksakan terbitnya Surpres dan bersikeras untuk melanjutkan pembahasan RUU Polri ini, juga dipastikan sama sekali tidak berorientasi pada kepentingan publik dan tidak memiliki intensi untuk melakukan perbaikan fundamental bagi Polri. Hal tersebut ditandai dengan proses yang terburu-buru, di masa lame duck (politikus yang segera berakhir masa jabatan), hal mana RUU ini tidak termasuk di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, tidak melalui perencanaan dan penyusunan yang transparan, partisipatif dan akuntabel sehingga pada gilirannya mengabaikan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation),” jelasnya.
Berdasarkan pada kondisi di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian mendesak sejumlah hal, antara lain:
1. Presiden RI segera menarik Surpres terkait dengan RUU Polri;
2. Presiden dan DPR RI segera menghentikan pembahasan tentang RUU Polri, khusus rancangan usul inisiatif Badan Legislasi DPR saat ini;
3. Presiden dan DPR RI harus memprioritaskan perbaikan-perbaikan krusial dan fundamental yang selama ini menjadi permasalahan Polri sebagai bagian dari ikhtiar reformasi kepolisian yakni persoalan luasnya kewenangan serta transparansi dan akuntabilitas pengawasan terhadap kewenangan kepolisian;
4. Presiden dan DPR RI memprioritaskan pembahasan rancangan KUHAP untuk memperbaiki kualitas hukum acara dan/atau ketentuan penegakan hukum, dengan tetap memastikan adanya proses legislasi yang demokratis, transparan dan membuka lebar ruang partisipasi publik yang bermakna.
5. Presiden dan DPR RI berhenti untuk mempertontonkan praktik otoritarianisme dalam penyusunan legislasi. (UWR)