PAPUA BARAT, JAGAMELANESIA.COM – Menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada November 2024, sejumlah nama mulai mengemuka meramaikan bursa calon kepala daerah baik calon gubernur-wakil gubernur, walikota maupun bupati di tanah Papua.
Berkaitan dengan hal ini, MRP se-tanah Papua telah menyepakati untuk mendorong penguatan keberpihakan kepada OAP pada Pilkada mendatang. Perdebatan pun muncul berkaitan dengan siapa yang disebut sebagai orang asli Papua maupun terkait status serta hak politik beberapa istilah lainnya seperti turunan Papua.
Selain itu, penjelasan mengenai definisi ini juga diperlukan mengingat dalam waktu dekat, seleksi Anggota DPRK jalur Pengangkatan juga akan segera dilaksanakan. Di tengah perdebatan itu, Dr. Filep Wamafma turut memberikan pandangannya perihal perbedaan Penduduk, Turunan Papua dan orang Asli Papua.
Ia menerangkan, penduduk secara harfiah adalah orang yang mendiami suatu tempat, pulau atau kampung atau negeri dan secara turun-temurun tinggal di suatu wilayah tertentu. Definisi lainnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Kependudukan disebutkan bahwa penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Dalam konteks Papua, lanjut Filep, yang disebut dengan penduduk menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 1 Huruf U adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.
“Selanjutnya dalam konteks Papua, adalah semua orang yang tinggal di Papua tetapi dengan catatan memiliki identitas atau status sebagai penduduk Papua yang dibuktikan dengan identitas yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan misalnya kartu tanda penduduk yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi di tanah Papua,” ungkapnya, dikutip dari Youtube Jas Merah TV, Kamis (2/5/2024).
“Apakah penduduk yang memiliki identitas Papua ini dapat disebut sebagai orang asli Papua? jawabannya belum tentu. Karena OAP hanya mereka yang memiliki kodrat sebagai orang asli Papua, jadi semua orang termasuk orang asli Papua disebut sebagai penduduk, tapi tidak semua penduduk disebut sebagai orang asli Papua,” sambungnya.
Perspektif Antropologi Hukum
Terkait definisi OAP, Undang-Undang Otonomi Khusus pasal 1 Poin 22 menyebutkan orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri atas suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai Orang Asli Papua oleh masyarakat adat Papua.
Lebih lanjut, senator yang terpilih kedua kalinya itu juga menanggapi perdebatan soal keaslian OAP melalui hubungan kekerabatan. Misalnya, apakah OAP hanya yang berasal dari ayah dan ibunya asli Papua, atau ayahnya Papua, ibu non Papua atau ibunya Papua ayahnya non Papua. Bahkan pertanyaan muncul bagi mereka yang berdasarkan leluhurnya yakni kakeknya dari garis kakek, dari garis nenek atau dari garis moyang apakah juga OAP.
“Dalam ilmu Antropologi Hukum kita kenal dengan sistem kekerabatan. Maka kita kembali meninjau tentang sistem kekerabatan seperti apa yang berlaku di tanah Papua. Tentu sistem kekerabatan ini berkaitan dengan kebiasaan atau hukum adat dalam kehidupan orang Papua. Dalam riset-riset ataupun kajian-kajian sebelumnya, Papua menganut sistem kekerabatan patrilineal. Patrilineal mengenal sistem alur keturunan berdasarkan garis keturunan laki-laki atau ayah, jadi garis keturunan laki-laki lebih istimewa dibandingkan dengan perempuan,” urainya.
Keistimewaan itu kata Filep berupa hak-hak yang lebih dari perempuan, dikarenakan laki-laki memiliki kelebihan membawa marga, melanjutkan keturunan marga atau identitas keluarga ataupun suku. Hak-hak istimewa itu seperti hak warisan yang berasal dari ayah, dari garis keturunan laki-laki ataupun dari moyang dari keturunan laki-laki.
Ia menambahkan, dalam pandangan Hukum Adat atau hukum kebiasaan disebutkan bahwa perempuan tetap mendapatkan harta tetapi perempuan itu melanjutkan keturunan orang lain saat menikah. Sedangkan laki-laki mendatangkan rezeki yaitu melanjutkan keturunan Marga keluarga dan turunannya.
“Apabila seorang perempuan memiliki seorang anak dengan laki-laki bukan orang asli Papua maka anak yang dilahirkan atau keturunannya bukanlah pembawa Marga atau identitas dari orang tua asal, tetapi melanjutkan turunan pihak laki-laki non-OAP. Oleh sebab itu ketika perempuan Papua sudah keluar berumah tangga maka perempuan sudah tidak lagi menggunakan Marga dari perempuan tapi justru sudah mengikuti Marga lain atau identitas laki-laki (suami), termasuk turunannya,” katanya.
“Sama pula dengan anak-anak yang dilahirkan oleh pihak laki-laki OAP memiliki kedudukan dan harta yang sama yang digariskan dari turunan laki-laki. Sedangkan perempuan juga mendapatkan harta warisan tetapi hartanya tidak sebanding dengan harta yang dimiliki oleh laki-laki, sehingga anak-anak daripada perempuan itu mendapatkan sebagian dari kepemilikan daripada perempuan,” imbuh Filep.
Berdasarkan sistem patrilineal ini, Filep memberikan kesimpulan bahwa OAP adalah mereka pembawa Marga, identitas, warisan dan penerus keturunan. Sedangkan, anak-anak yang lahir dari kandungan perempuan Papua dengan suami non-Papua memiliki kedudukan berbeda dengan anak-anak yang lahir langsung daripada pihak laki-laki asli Papua yang selanjutnya disebut Turunan Papua.
“Saya memaknai kondisi itu dengan dua hal dalam pemberian nama. Yang turunan laki-laki disebut sebagai orang asli Papua sedangkan yang perempuan dan anak-anak serta turunannya disebut turunan Papua. Dua hal dengan konsep yang beda. Turunan ini karena memiliki asal usul, latar belakang dan histori bahwa memiliki ibu orang Papua atau kakek OAP atau moyangnya Papua tetapi tidak memiliki kekerabatan, tidak membawa hak dan kewajiban dan bukan penerus turunan keluarga atau identitas keluarga atau identitas suku. Namun dia melanjutkan turunan suku dan berkembang biak dengan konsep yang berbeda dengan yang dialami atau yang dilakukan oleh laki-laki,” jelasnya.
“Dalam konteks hak politik, saya berpendapat dan berkesimpulan bahwa yang berhak menjadi gubernur dan wakil gubernur adalah orang asli Papua berdasarkan garis keturunan laki-laki sehingga calon-calon gubernur yang berasal dari garis keturunan perempuan atau yang berasal dari garis keturunan kakek atau nenek dan lainnya yang bukan pembawa Marga, bukan melanjutkan silsilah suku, identitas Papua maka tidak dapat diterima sebagai calon gubernur dan wakil gubernur di Provinsi Papua,” terang Filep.
Akan tetapi, Filep menuturkan, terdapat cara atau solusi agar keturunan garis perempuan juga bisa mendapatkan hak politik, yakni anak-anak yang dilahirkan dari rahim perempuan asli Papua harus mengubah marganya mengikuti marga ibunya sehingga mereka membawa Marga dari ibu dan identitasnya. Hal ini masuk dalam kategori matrilineal karena juga sebagai pembawa turunan dari keturunan warga asli Papua.
“Itu solusi saya bagi mereka anak-anak yang lahir dari perempuan Papua tetapi tidak disebut sebagai OAP, tapi punya hak juga sebagai turunan Papua. Semoga pendapat saya ini bisa bermanfaat bukan untuk menciptakan kegaduhan tetapi sebagai solusi berpikir atas dinamika yang berkembang. Mudah-mudahan pihak yang berwenang khususnya MRP di tanah Papua bisa menjadikan sebagai referensi dalam memberikan pertimbangan atau rekomendasi bagi siapapun yang hendak menjadi calon gubernur dan wakil gubernur di tanah Papua,” pungkasnya.