JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Pimpinan Komite I DPD RI, Dr. Filep Wamafma menghadiri Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI dan jajaran pemerintah pada Senin (1/4/2024) lalu. Agenda raker kali ini adalah pembahasan terhadap 27 Rancangan Undang-Undang (RUU) prakarsa DPR tentang Kabupaten dan Kota.
Adapun RUU tersebut terdiri dari RUU tentang Kota Banda Aceh, RUU tentang Kabupaten Aceh Besar, RUU tentang Kabupaten Pidie, RUU tentang Kabupaten Aceh Tengah, RUU tentang Kabupaten Aceh Timur, RUU tentang Kabupaten Aceh Utara, RUU tentang Kabupaten Aceh Barat, RUU tentang Kabupaten Aceh Selatan, RUU tentang Kota Binjai, RUU tentang Kabupaten Langkat, RUU tentang Kabupaten Karo, RUU tentang Kota Medan.
Kemudian, RUU tentang Kota Tebing Tinggi, RUU tentang Kabupaten Deli Serdang, RUU tentang Kota Tanjung Balai, RUU tentang Kabupaten Asahan, RUU tentang Kabupaten Labuhan Batu, RUU tentang Kabupaten Tapanuli Utara, RUU tentang Kabupaten Tapanuli Tengah, RUU tentang Kabupaten Tapanuli Selatan, RUU tentang Kota Pematang Siantar, RUU tentang Kabupaten Simalungun, RUU tentang Kota Sibolga, RUU tentang Kabupaten Nias, RUU tentang Kota Pangkalpinang, RUU tentang Kabupaten Bangka, dan RUU tentang Kabupaten Belitung.
Dalam kesempatan itu, Filep Wamafma menyampaikan bahwa Komite I DPD RI I sebagai alat kelengkapan yang membidangi urusan Otonomi dan Pemerintahan Daerah telah ditugaskan DPD RI untuk ikut serta dalam pembahasan ke dua puluh tujuh RUU tersebut.
“Berdasarkan pengalaman sebelumnya dalam pembentukan Undang-Undang tentang Provinsi, Lembaga Tripartit telah menemukan semacam format standar atau kerangka umum dalam menyusun materi muatan/substansi undang-undang semacam ini, yaitu : 1. Penyempurnaan dasar hukum; 2. Penyesuaian cakupan wilayah; 3. Penegasan karakteristik; dan 4. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan,” ungkap Filep dalam ruang Raker.
Dia menekankan, pembahasan 27 RUU tersebut harus konsisten dengan format standar sebagaimana telah diterapkan dalam pembahasan Undang-Undang Provinsi sebelumnya. Hal itu dimaksudkan agar terdapat keseragaman dan kepastian hukum yang jelas bagi daerah yang akan diatur, di samping juga proses pembahasan menjadi lebih mudah dan waktu yang diperlukan relatif singkat.
“Dua puluh tujuh Rancangan Undang-Undang yang substansinya mengatur 19 kabupaten dan 8 kota ini apabila telah disahkan menjadi undang-undang diharapkan tidak hanya sekadar menjadi formalitas untuk mengatur eksistensi daerah saja, akan tetapi juga secara substansial memberikan efek nyata kepada masyarakat, yaitu mampu menjembatani peningkatan taraf hidup kesejahteraan masyarakat daerah sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah dan melestarikan kearifan lokal yang ada di tiap-tiap daerah,” tuturnya.
“Oleh sebab itu, pembahasan rancangan undang-undang ini haruslah menjadi ikhtiar politik bersama antara DPR RI, DPD RI dan pemerintah untuk juga mengupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui suatu legal policy (kebijakan hukum). Sehubungan dengan ikhtiar bersama tersebut, dan juga mengingat materi muatan RUU ini mengatur tentang eksistensi daerah, maka sudah semestinya DPD RI mendapatkan ruang partisipasi secara memadai dalam proses pembahasan. Hal ini sebagai bagian dari upaya deliberasi ide-ide atau gagasan demi terwujudnya undang-undang partisipatif yang mempertimbangkan semua kepentingan baik dari lembaga perwakilan politik secara nasional (DPR RI), maupun lembaga perwakilan regional (DPD RI),” sambungnya.
Selanjutnya, melalui pembahasan Tingkat I ini, Filep mengatakan bahwa DPD RI menyampaikan beberapa pandangan awal sebagai berikut :
1. DPD RI berpandangan bahwa dua puluh tujuh RUU ini diperlukan sebagai pemenuhan amanat Pasal 18 ayat (1) UUD Tahun 1945 dan upaya untuk mengakomodir kebutuhan hukum serta masyarakat yang telah berkembang sedemikian rupa secara dinamis dan tidak tertampung lagi di dalam undang-undang sebelumnya.
2. DPD RI berpandangan bahwa pembahasan dua puluh tujuh RUU ini harus memperhatikan prinsip-prinsip otonomi (desentralisasi), dan tidak mengurangi kewenangan otonomi daerah yang sudah ada berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2023.
3. DPD RI berpandangan bahwa kabupaten dan kota di Provinsi Aceh yang diatur dalam RUU ini, yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Barat, dan Kabupaten Aceh Selatan harus memperhatikan prinsip-prinsip otonomi khusus Aceh sebagaimana diatur dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
4. DPD RI berpandangan bahwa format standar atau kerangka umum yang digunakan dalam pembahasan Undang-Undang tentang Provinsi, yaitu (i) penyempurnaan dasar hukum (ii) penyesuaian cakupan wilayah; (iii) penegasan karakteristik; dan (iv) sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara konsisten tetap harus diterapkan dalam pembahasan dua puluh tujuh rancangan undang-undang ini agar dapat menjamin kepastian hukum bagi daerah;
5. DPD RI berpandangan bahwa dua puluh tujuh RUU ini harus dapat merumuskan karakteristik wilayah yang menggambarkan secara riil kekhasan masing-masing kabupaten/kota. Kearifan lokal perlu ditonjolkan sesuai dengan kebhinekaan yang ada di masing-masing daerah. Selain itu, pengaturan tentang karakteristik wilayah juga harus menjamin keadilan bagi daerah dalam mengelola sumber daya alamnya.
6. DPD RI berpandangan bahwa dua puluh tujuh RUU ini selain memberikan formalitas atau tertib hukum administrasi dalam pengaturan eksistensi daerah, juga harus memiliki manfaat yang nyata bagi masyarakat atau dapat menjadi sarana hukum yang mampu mengupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Melalui pandangan awal ini, Filep berharap lahirnya Undang-Undang ini dapat mendukung upaya mewujudkan pemerintahan yang baik dan upaya memperkuat daerah sebagai bagian penting dan dasar kuatnya negara Republik Indonesia.
“DPD RI berharap upaya yang dilakukan dalam melaksanakan amanat rakyat daerah dan konstitusi ini bermanfaat untuk kemajuan daerah dan bangsa Indonesia khususnya dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia serta menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tutupnya.