JAGAMELANESIA.COM – Dewan pakar Komite HAM PBB menyinggung persoalan Papua dan mempertanyakan kekerasan dari aparat terhadap masyarakat sipil Papua yang disebut turut menyebabkan banyaknya pengungsi.
Hal ini dilontarkan saat Indonesia menghadiri Sidang Komite Hak Sipil dan Politik di Jenewa. Adapun sidang itu berlangsung pada 11 sampai 12 Maret 2024 lalu.
“Ada laporan penyiksaan dan pembunuhan di Provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2022,” kata Komite HAM PBB, Carlos Gomez Martinez dikutip dari video laporan VOA Indonesia, Kamis (14/3/2024).
Di kesempatan yang sama, Komite HAM PBB, Bacre Waly Ndiaye turut mempertanyakan tentang penanganan pemerintah terhadap kejadian kematian diantara para pengungsi di Papua.
“Bagaimana Indonesia mengatasi tingginya angka kematian diantara pengungsi di Papua,” ujar Komite HAM PBB, Bacre Waly Ndiaye.
Lebih lanjut, Carlos Gomez Martinez juga menyoroti tentang 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang penyelesaiannya hingga kini dianggap masih mandek.
“Bagaimana prospek langkah hukum terhadap pihak yang diduga terlibat pelanggaran hukum HAM internasional, termasuk penyelidikan Rumah Geudong, Jambo Keupok dan Simpang KKA?
Menanggapi hal itu, delegasi Indonesia membantah adanya militerisasi di tanah Papua dan menyampaikan bahwa pemerintah memberlakukan pendekatan pendanaan untuk memperkuat Otonomi di Papua.
Terhadap penanganan kasus HAM berat, perwakilan RI juga menyatakan pemerintah telah membuat 4 pengadilan HAM untuk kasus Tanjung Priok, Abepura, Timor Leste dan Paniai, namun untuk kasus pelanggaran HAM berat masih dibicarakan antar lembaga.
“Antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan Kejaksaan Agung untuk menangani kasus-kasus pelanggaran berat HAM,” ujar Direktur Keamanan Diplomatik, Kementerian Luar Negeri RI, Agung Sumirat.
Di tahun 2023 Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato penyesalan atas pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, belum ada pengungkapan kebenaran dan proses hukum. Adapun Komite HAM PBB berisi 18 pakar independen yang tugasnya mengawasi implementasi konvenan internasional mengenai hak-hak sipil dan politik.
Sedangkan Indonesia menjadi salah satu negara yang meratifikasi konvenan ini menjadi undang-undang pada tahun 2005. Konvenan ini mengatur 10 hak, diantaranya hak untuk hidup, hak untuk berserikat dan juga kebebasan berekspresi.
Sebelumnya, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) segera melaksanakan komitmennya terkait penyidikan atas sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Kami masih menagih komitmen Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat yang proses penyelidikannya telah diselesaikan oleh Komnas HAM. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 kewenangan penyidikan dan penuntutan terhadap peristiwa Pelanggaran HAM Berat berada di tangan Jaksa Agung,” ujar Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya, dilansir dari laman resmi KontraS, 23 Juli 2023.
Dimas menyebutkan, hingga tahun 2023, sebanyak 13 kasus Pelanggaran HAM Berat dibiarkan menggantung tanpa kejelasan oleh Jaksa Agung. Kejaksaan Agung hingga kini masih belum melanjutkan proses penyidikan bahkan mengembalikan berkas penyidikan terhadap sembilan berkas perkara pelanggaran HAM berat.
Sembilan perkara itu yakni Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Talangsari 1998, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior dan Wamena, Peristiwa Simpang KKA 3 Mei 1999 di Provinsi Aceh dan Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis lainnya di Provinsi Aceh.
“Hal tersebut tentu mengakibatkan korban dan keluarga korban terus menunggu kejelasan dan tak memiliki kepastian hukum. Gagalnya Jaksa Agung menghadirkan proses penuntutan yang adil dan transparan pada kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat, selain menunjukkan Kejaksaan Agung abai terhadap kewenangan yang sudah diamanatkan oleh UU Pengadilan HAM, juga menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung abai terhadap hak korban untuk memperoleh keadilan dan proses pengungkapan kebenaran secara menyeluruh,” katanya. (UWR)