JAGAMELANESIA.COM – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat sebanyak 7 peristiwa kekerasan terjadi di tanah Papua selama dua bulan terakhir yakni pada Januari hingga Februari 2024.
Berulangnya perisitiwa kekerasan ini menuari reaksi keras, diantaranya dari pihak gereja yakni Biro Papua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) bersama KontraS, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Aliansi Mahasiswa Papua yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil.
Dalam siaran pers pada Senin (4/3/2024), KontraS menyebutkan bahwa 7 peristiwa kekerasan pada Januari-Februari 2024 telah menimbulkan 6 korban luka dan 4 korban tewas. Tindak kekerasan tersebut antara lain meliputi penembakan, penyiksaan, serta penangkapan sewenang-wenang.
“Menurut informasi yang kami himpun, beberapa korban diantaranya adalah warga sipil bahkan terdapat korban yang masih tergolong anak-anak. Jumlah Kekerasan yang terjadi di Papua berbanding lurus dengan masih diberlakukannya pendekatan keamanan dan bersenjata melalui operasi militer oleh pemerintah hingga saat ini. Padahal, pola kebijakan penuntasan konflik tersebut masih menjadi salah satu faktor terus berulangnya peristiwa kekerasan di Tanah Papua,” sebutnya, dikutip Senin (4/3/2024).
“Kami memproyeksikan bahwa peristiwa semacam itu akan terus berulang di Tanah Papua jika pemerintah tidak melakukan pengkajian ulang dan evaluasi terhadap pendekatan keamanan dan operasi militer yang saat ini dijalankan di Tanah Papua. Inisiatif Panglima TNI dengan membuat Komando Operasi Habema justru akan memperkeruh situasi dan tidak dapat menjamin peristiwa kekerasan serta pelanggaran HAM tidak terus berulang jika operasi tersebut dijalankan tanpa evaluasi yang komprehensif dan menyeluruh serta tidak diimbangi dengan upaya dialog dan cara damai,” tulis koalisi.
Disebutkan, 7 peristiwa kekerasan ini semakin menambah banyaknya dugaan kasus pelanggaran HAM dan pola kekerasan negara yang terjadi di tanah Papua. Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil mendapati sepanjang tahun 2023 lalu, setidaknya telah terjadi 49 peristiwa kekerasan terhadap warga sipil yang meliputi penembakan, penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, dan penyiksaan. Rentetan peristiwa tersebut menyebabkan 67 korban luka-luka dan 41 korban meninggal dunia.
“Informasi yang kami himpun juga menunjukkan bahwa beberapa peristiwa yang terjadi didorong oleh adanya dugaan bahwa warga Papua merupakan anggota TPNPB-OPM yang menyebabkan aparat melakukan pengejaran dan penembakan kepada warga yang diduga sebagai anggota TPNPB-OPM. Pada akhirnya, beberapa warga yang terluka dan ditangkap justru tidak terbukti sebagai anggota TPNPB-OPM. Patut digarisbawahi bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan yang mempertontonkan penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force) sekaligus pelanggaran terhadap prinsip fair trial,” katanya.
Koalisi menekankan, penggunaan kekuatan oleh aparat bersenjata seharusnya dilakukan secara terukur berdasarkan prinsip nesesitas yakni bahwa penggunaan senjata oleh aparat harus dilakukan dengan hati-hati serta sesuai dengan prinsip hukum dan HAM.
“Adanya warga sipil yang terluka bahkan meninggal dunia akibat terjangan peluru aparat menunjukkan adanya dugaan penggunaan senjata api secara berlebihan. Hal ini jelas bertentangan dengan United Nations Basic Principles On the Use of Force And Firearms By Law Enforcement Official yang menyatakan bahwa dalam penggunaan senjata api oleh penegak hukum harus sesuai dengan keadaan dan digunakan dengan sedapat mungkin mengurangi resiko yang tidak diinginkan,” jelasnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak:
Pertama, Pemerintah Indonesia khususnya Presiden untuk menghentikan sementara penerjunan prajurit militer serta melakukan evaluasi total terhadap operasi militer dan operasi keamanan yang dijalankan di Tanah Papua;
Kedua, Panglima TNI untuk mengkaji ulang penerjunan pasukan dan pendekatan militer yang digunakan di Papua serta melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap anggota TNI yang menyebabkan jatuhnya korban dari pihak warga sipil Papua. Unsur TNI harus mendorong adanya pola-pola humanis dan mengedepankan aspek Hak Asasi Manusia agar tidak terjadi kejahatan kemanusiaan di Papua ;
Ketiga, Kapolri untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap korban tewas dan korban luka dan menempuh mekanisme etik dan pidana kepada anggota Polri yang terbukti melakukan pelanggaran HAM dan tindak pidana terhadap warga sipil di Tanah Papua.
Keempat, Komnas HAM untuk segera melakukan investigasi secara independen dan imparsial atas seluruh dugaan tindak kekerasan, penyiksaan, dan dugaan pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di Papua. (UWR)