BerandaHukumPersoalan Batas Wilayah di Papua Barat Daya Ini Terus Bergulir di MK

Persoalan Batas Wilayah di Papua Barat Daya Ini Terus Bergulir di MK

JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Sidang perkara pengujian materiil Lampiran I huruf a Kabupaten Sorong Angka 29 Distrik Botain Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya (UU PBD) terus berlanjut.

Bupati Sorong Selatan, Samsudin Anggiluli bersama Ketua DPRD Sorong Selatan, Martinus Maga merupakan pihak Pemohon yang mengajukan permohonan pengujian materiil ini ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Lampiran I huruf A Kabupaten Sorong angka 29 Distrik Botain UU PBD inkonstitusional secara bersyarat dengan UUD 1945 sepanjang memasukkan Kampung Botain yang merupakan Kampung dari Distrik Saifi Kabupaten Sorong Selatan ke dalam Distrik Botain Kabupaten Sorong.

Terbaru, pada sidang yang digelar Rabu (21/2/2024), Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Barat Daya (PBD) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sorong menjadi Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 106/PUU-XXI/2023 tersebut.

Di kesempatan ini, Pemprov PBD diwakili Pelaksana tugas (Plt) Kepala Biro Pemerintahan Anhar Akib Kadar. Sedangkan, Pemkab Sorong diwakili Kepala Bagian Pemerintahan Donar Taluke yang hadir bersama Plh Bupati Sorong.

Anhar Akib Kadar yang mewakili Pemprov PBD memohon kepada  Mahkamah agar dalam memutuskan pengujian UU PBD ini nanti tidak mengganggu proses percepatan pembangunan di Provinsi PBD.

“Mohon kiranya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam hal mengambil putusan akhir dengan amar putusan-putusan MK dalam peninjauan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2022 tidak mengganggu proses percepatan pembangunan di Provinsi Papua Barat Daya,” ujar Anhar saat memberikan keterangan Pihak Terkait, dikutip dari laman resmi MKRI, Sabtu (2/3/2024).

Menurutnya, pembahasan mengenai sengketa batas wilayah antara Kabupaten Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan belum selesai. Meskipun, kata Anhar, pihaknya mengetahui kedudukannya sebagai wakil Pemerintah Pusat, memiliki tugas dan wewenang dalam pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Dalam hal terjadi perselisihan penegasan batas antardaerah kabupaten/kota dalam satu provinsi atau antardaerah provinsi, diselesaikan oleh gubernur sebagaimana ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah.

Sementara itu, Donar Taluke dalam keterangannya mengeklaim Pemkab Sorong telah menyelenggarakan pelayanan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di wilayah Botain.

“Kami tetap membayar honor aparat. Kami juga memberikan bantuan pembangunan di wilayah Botain,” kata Donar.

Selain itu, lanjut Donar, Pemkab Sorong juga mengalokasikan dana ke wilayah Botain seperti pembayaran bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat Botain. Donar juga mengatakan, pihaknya telah menyelenggarakan pemilihan umum di Kampung Botain dengan 40 daftar pemilih tetap (DPT) dengan tidak ada ancaman keamanan.

Ahli Pemohon: Batas Wilayah Belum Final

Persidangan juga mendengarkan keterangan Fitriani Ahlan Sjarif, Ahli yang dihadirkan Pemohon. Dosen Ilmu Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menjelaskan, permasalahan sengketa batas wilayah terjadi ketika nama Botain (yang diklaim Pemkab Sorong Selatan merupakan Kampung Botain yang masuk wilayahnya di Distrik Saifi) masuk Lampiran UU Pembentukan Papua Barat Daya menjadi Distrik Botain (masuk wilayah Pemkab Sorong).

Menurut Fitriani, hal ini bertentangan dengan fakta hukum dalam perundangan-undangan sebelumnya seperti UU Nomor 26 Tahun 2002 beserta beberapa peraturan di tingkat daerah, misalnya Peraturan Bupati Sorong Selatan Nomor 08 Tahun 2010 tentang Pembentukan Kampung Persiapan Botain Distrik Saifi Kabupaten Sorong Selatan dan menjadi Kampung Botain, dan Surat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 136/1161/PUM tanggal 15 Mei 2015 yang pada intinya menyatakan Kampung Botain telah sah secara hukum milik dari Kabupaten Sorong Selatan.

“Oleh sebab itu pengaturan pada Lampiran I mengenai distrik (kecamatan) seharusnya tidak dicantumkan dalam Lampiran Undang-Undang tersebut. Hal ini ahli sampaikan juga karena terdapat fakta bahwa di dalam persidangan, pemerintah telah mengakui bahwa terhadap titik koordinat batas-batas wilayah Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Sorong sebagaimana Permendagri Nomor 89 Tahun 2019 masih terdapat permasalahan dan belum final,” tutur Fitriani.

Menurutnya, sesuai dengan PP Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan bahwa sekalipun dalam hal pembentukan kecamatan (distrik) tidak ditemukan harus ada unsur partisipasi publik, tapi dalam penggabungan ataupun penyesuaian kecamatan, terdapat unsur sosiologis masyarakat yang harus diperhatikan. (UWR)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru