BerandaDaerahBencana Kelaparan Berulang, Perubahan Iklim dan Perdagangan Karbon Disebut Jadi Ironi Bagi...

Bencana Kelaparan Berulang, Perubahan Iklim dan Perdagangan Karbon Disebut Jadi Ironi Bagi Masyarakat Adat

JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Bencana kelaparan kembali melanda masyarakat di yahukimo Papua usai mengakibatkan enam warga di Kabupaten Puncak, Papua Tengah pada Agustus 2023 lalu meninggal dunia. Kini, sebanyak 24 warga dikabarkan meninggal dunia dan lebih 12 ribu warga di belasan perkampungan Distrik Amuma, Yahukimo, Papua Pegunungan saat ini kehilangan sumber pangan akibat cuaca ekstrem.

Pihak kepolisian setempat menyebutkan, kondisi ini diduga terjadi karena cuaca ekstrem sehingga membuat tanaman-tanaman di ladang warga dan ternak-ternak milik warga mati. Akibatnya, Polda Papua bersama Pemerintah Kabupaten Yahukimo menetapkan status darurat tanggap bencana sejak pekan lalu di Distrik Amuma.

Fenomena cuaca ekstrem ini terjadi tak terlepas dari perubahan iklim yang memicu gelombang panas lebih sering terjadi dan lebih ekstrem. Isu perubahan iklim ini turut menjadi perhatian berbagai pihak termasuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Deputi I Sekjen AMAN Urusan Organisasi, Eustobio Rero Renggi mengatakan bahwa perubahan iklim yang disebabkan pemanasan global memiliki dampak langsung bagi Masyarakat Adat. Dampak tersebut banyak dirasakan oleh Masyarakat Adat di kampung-kampung seperti terjadi kekeringan massal, banjir hingga tanah longsor yang mengkibatkan bencana dan krisis pangan.

“Situasi ini yang dirasakan oleh Masyarakat Adat di kampung, bahkan dalam beberapa bulan terakhir ini situasinya cukup mencekam oleh krisis iklim yang begitu panjang,” ujar Eus dalam Konferensi Tenurial Nasional 2023 di kawasan Gedung Serbaguna Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (17/10/2023).

Dia menjelaskan, situasi yang disebabkan oleh perubahan iklim ini seringkali berdampak pada turunnya produktivitas lahan-lahan pertanian yang ada di wilayah adat seperti gagal panen. Akibatnya, Masyarakat Adat terpaksa meninggalkan wilayah adatnya untuk bermigrasi ke kota mencari sumber penghidupan baru.

“Ketika mereka bermigrasi ke kota, konsekuensinya mereka menjadi pekerja kasar, buruh kuli bangunan, dan kemudian ketika mereka menjadi buruh, mereka mendapatkan upah yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Ini sangat ironi,” kata Eustobio.

Ia menyatakan persoalan mendasar Masyarakat Adat dalam perubahan iklim, transisi energi, dan perdagangan karbon adalah pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat.Oleh sebab itu, Eus berharap Hak-Hak Masyarakat adat yang didasarkan pada pemenuhan Hak Asasi Manusia dan hak-hak khusus Masyarakat Adat harus dipenuhi. Persoalan mendasarnya yakni bahwa sampai saat ini negara belum mengakui Hak-Hak Masyarakat Adat.

Selain selain perubahan iklim, Eustobio juga menyoroti isu perdagangan karbon yang menurutnya juga memberikan dampak yang sangat serius bagi Masyarakat Adat. Ia melihat perdagangan karbon ini sebagai karpet merah bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk terus melepaskan emisi seraya melakukan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia Masyarakat Adat maupun Hak-Hak Masyarakat Adat secara khusus.

“Kita tahu sampai saat ini sudah lebih dari 26 juta hektar wilayah adat itu sudah dipetakan dan sudah diserahkan kepada pemerintah. Tapi pengembalian, seperti hutan adat itu baru sekitar 0,5 %, sangat kecil sekali. Jadi sangat terjadi ketimpangan,” jelasnya.

Eustobio  menambahkan, Masyarakat Adat sedang mendorong untuk mendesak pelaksanaan moratorium perdagangan karbon, termasuk juga melihat bagaimana Hak-Hak Masyarakat Adat terhadap karbon itu sendiri.

“Kita mendorong untuk ada representasi Masyarakat Adat dalam mengawal bagaimana mekanisme karbon. Namun di sisi lain, kita juga mendorong bagaimana pengakuan itu harus komprehensif secara menyeluruh,” ucapnya. (UWR)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru