BerandaHukumJamin Masyarakat Adat Jalankan Hak-Hak Fundamental dalam Persetujuan Investasi, Peneliti Jelaskan Urgensi...

Jamin Masyarakat Adat Jalankan Hak-Hak Fundamental dalam Persetujuan Investasi, Peneliti Jelaskan Urgensi FPIC

JAGAMELANESIA.COM – Persoalan keterlibatan masyarakat adat sebagai pihak yang terdampak masuknya aktivitas, proyek, investasi maupun kebijakan yang kini semakin marak digugat mendapat perhatian berbagai pihak. Salah satunya dari Pusat Kajian Hukum Adat (Puskaha) Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM)

Akademisi dan peneliti hukum adat dan hukum lingkungan tersebut menekankan pentingnya skema persetujuan dari masyarakat hukum adat terkait pemanfaatan tanah adat oleh pihak luar dikenal dengan FPIC (Free and Prior Informed Consent).

“Skema tersebut merupakan proses yang memungkinkan masyarakat adat atau masyarakat lokal untuk menjalankan hak-hak fundamentalnya dalam menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap sebuah aktivitas, proyek, atau kebijakan yang akan dilaksanakan di ruang kehidupan masyarakat yang bersangkutan dan memiliki potensi adanya dampak pada kehidupan sosial masyarakat setempat, tanah, kawasan, dan sumber daya yang ada,” demikian dikutip dari siaran pers Pusaka, 27 Oktober 2023.

Puskaha Djojodigoeno berpendapat bahwa pelibatan masyarakat yang bermakna sangat penting guna mendapatkan persetujuan dengan informasi awal tanpa paksaan (PADIATAPA) terhadap proyek-proyek berisiko tinggi bagi ruang hidup masyarakat hukum adat (MHA) yang oleh hukum diberikan hak mengontrol pembangunan yang berdampak pada tanah dan sumber daya mereka.

“Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dan peraturan pelaksananya yang relevan mensyaratkan pelibatan masyarakat yang bermakna,” sebutnya.

Pendapat hukum para sahabat pengadilan (Amici Curiae brief) ini disampaikan atas perkara gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim masyarakat adat Awyu pada Oktober 2023. Perkara Nomor 6/G/LH/2023/PTUN.JPR itu berisi tentang Gugatan Tata Usaha Negara Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim mengenai Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021, tertanggal 02 November 2021.

Yakni tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan kapasitas 90 Ton TBS/Jam Seluas 36.094,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

“Tujuannya untuk membantu Majelis Hakim yang menangani perkara dalam memperkuat pertimbangan hukum terkait tanggung jawab negara untuk memastikan tercapainya persetujuan dan partisipasi publik yang bermakna dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) proyek-proyek pembangunan dalam Tanah Ulayat/Tanah Adat Masyarakat Hukum Adat (MHA) Suku Awyu,” sambungnya.

Puskaha Djojodigoeno menekankan bahwa pembiaran terhadap keberadaan izin yang dimiliki PT IAL yang bertampalan dengan sebagian wilayah adat MHA Suku Awyu justru hanya akan menunjukkan langkah kontraproduktif Negara yakni pemerintah setempat dalam melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat hukum adat yang tentunya perlu mendukung agar MHA Suku Awyu dapat memperoleh hak-haknya secara penuh dari Negara.

“Dalam Amici curiae brief juga menyampaikan rangkuman mengenai teori dan praktik pelibatan MHA dalam pembangunan dan penilaian terhadap perubahan iklim. Berdasarkan kajian tersebut, Amici dengan hormat memohon kepada Majelis Hakim untuk membatalkan Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua yang memberikan izin lingkungan untuk pembangunan proyek Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit PT IAL,” jelasnya.

“Dalam rangka menjaga keseimbangan antara hak prosedural atas lingkungan dan pertimbangan hukum yang bersifat substantif, pengadilan harus mempertimbangkan apakah prosedur yang diikuti dalam penerbitan izin lingkungan proyek tersebut telah memenuhi standar partisipasi publik yang bermakna. Jika tidak, pengadilan dapat membatalkan Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua yang memberikan izin lingkungan,” tambahnya.

“Amici menarik benang merah bahwa terdapat inkonsistensi antara komitmen iklim dengan implementasi kebijakan pengurangan emisi GRK yang ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia. Inkonsistensi ini perlu dikoreksi, salah satunya melalui gugatan yang diajukan oleh MHA Suku Awyu dalam perkara ini. Gugatan ini adalah benteng terakhir yang bisa menyelamatkan hutan hujan Papua agar tidak berakhir seperti hutan hujan Sumatera dalam penelitian Guillaume (2018),” urainya. (UWR)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru