JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Sidang kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar kembali digelar dengan lanjutan agenda pemeriksaan saksi meringankan (saksi a de charge).
Pada sidang ini, dua saksi yang dihadirkan adalah Iqbal Damanik dari Greenpeace Indonesia dan Wahyu Perdana dari Pantau Gambut yang sebelumnya bekerja di WALHI. Keduanya adalah tim periset dari Kajian Cepat Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya
Saksi Iqbal Damanik mengkonfirmasi keterangan saksi Ahmad Ashov Birry dari TrendAsia yang dihadirkan pekan lalu. Pada keterangannya, saksi Iqbal Damanik menjelaskan metode riset yang digunakan dalam proses penulisan kajian cepat serta temuan yang diperoleh oleh para periset. Menurut saksi Iqbal, riset dimulai dengan fakta permulaan bahwa terdapat temuan peningkatan operasi pertambangan di Papua dan adanya beberapa perusahaan yang terlibat dalam pertambangan di Papua.
Salah satu perusahan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Papua menurut saksi Iqbal adalah PT Madinah Qurrata’ain (PT MQ) yang disebut memiliki empat IUP eksplorasi dan satu IUP Produksi. Lokasi IUP milik PT MQ tersebut terletak di Intan Jaya.
Iqbal kemudian menambahkan bahwa berdasarkan temuan tim riset, PT MQT adalah subsidiary atau anak perusahaan dari perusahaan Australia bernama West Wits Mining yang memiliki kerjasama dengan Tobacom Del Mandiri (PT TDM) yang merupakan anak perusahaan dari PT Toba Sejahtera.
“Pada saat itu Luhut Panjaitan adalah pemegang saham mayoritas dari PT Toba Sejahtera. Keterangan dari saksi Iqbal Damanik mengkonfirmasi keterangan dari saksi Ahmad Ashov bahwa ada jejak keterlibatan Luhut Panjaitan dalam operasi pertambangan yang dilakukan oleh PT MQ dan PT TDM di Papua,” dikutip dari siaran pers KontraS, Rabu (13/9/2023).
Lebih lanjut saksi Iqbal juga menyatakan bahwa berdasarkan kajian dan riset yang mereka lakukan, mereka memandang Luhut Panjaitan merupakan politically exposed persons, yaitu istilah yang digunakan oleh Financial Action Task Force of Money Laundering (FATF) untuk merujuk pada orang dengan jabatan tertentu yang memiliki pengaruh dalam menentukan suatu keputusan pada sektor usaha.
Pandangan tersebut mereka dasarkan pada fakta bahwa laporan tahunan West Wits Mining di tahun menyebut senior minister yang diduga kuat sebagai Luhut Panjaitan. Saksi Iqbal juga menerangkan persoalan kemungkinan terjadinya trading in influence dan conflict of interest dari Luhut Panjaitan terhadap penerbitan IUP dari PT MQ di Intan Jaya.
Saksi Iqbal menambahkan bahwa berdasarkan Pasal 18 United Nations Convention Against Corruption UNCAC (Konvensi PBB Anti Korupsi) trading in influence yang dimaksud tidak mengharuskan seorang yang terlibat dalam trading in influence untuk menerima keuntungan langsung.
“Sehingga walaupun Luhut Panjaitan tidak menerima keuntungan langsung dari aktivitas pertambangan di Papua, namun posisi Luhut Panjaitan sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi telah memenuhi syarat akan adanya dugaan trading in influence dan conflict of interest,” tambahnya.
Selain mengenai dugaan keterlibatan Luhut Panjaitan dan beberapa pejabat lain dalam pertambangan di Intan Jaya, saksi Iqbal juga menerangkan hubungan antara aktivitas pertambangan di Intan Jaya dengan konflik yang terjadi. Menurut saksi Iqbal, industri ekstraktif termasuk pertambangan selalu berkorelasi dengan adanya konflik, khususnya jika melibatkan aparat bersenjata.
Pada kesempatan yang sama, saksi kedua yakni Wahyu Perdana menerangkan temuan tim riset bahwa beberapa IUP di Papua termasuk Intan Jaya terletak pada wilayah hutan lindung. Saksi Wahyu Perdana juga menerangkan bahwa berdasarkan temuan mereka pertambangan di Papua telah menyebabkan deforestasi yang terjadi pada setidaknya 640 hektar wilayah hutan di Papua.
Menurut saksi Wahyu, hal tersebut merupakan pelanggaran hukum berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pada kesempatan ini, para saksi juga menyatakan bahwa kajian cepat yang mereka lakukan dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah dan ditujukan untuk kepentingan publik, bukan untuk menyasar pejabat tertentu.