JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyoroti angka kemiskinan di Papua yang sulit turun. Pasalnya, hingga saat ini Papua dan Papua Barat menjadi dua provinsi teratas dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Papua kini mencapai 26,03 persen dan Papua Barat 20,49 persen, sementara angka kemiskinan nasional berada di kisaran 9,36 persen.
Menurut Muhadjir, menangani masalah Papua khususnya kemiskinan tidak bisa berjalan baik jika menggunakan kacamata Jakarta atau Jawa sentris. Dia pun menyinggung pejabat yang menggunakan kebijakan ‘helikopter’.
“Yang terjadi sekarang ini, salah satunya kenapa di Papua (angka kemiskinan) tidak turun-turun. Itu karena dianggap sama aja menangani orang miskin disini (Jakarta) dengan disana (Papua),” kata Muhadjir dalam sebuah Seminar Nasional di Kemenko PMK, Jakarta, Rabu (13/9/2023).
“Ya, yang membuat kebijakan enggak pernah ke sana. Jadi salah satu kelemahan yang paling berat negara kita ini adalah banyak sekali pejabat pembuat kebijakan yang dia menggunakan kebijakan ‘helikopter’. Jadi lihat dari jauh-jauh dan kemudian melihat, membandingkan, karena dia sudah biasa di Jakarta ya, sangat Jakarta sentris, atau Jawa sentris,” katanya lagi.
Lebih lanjut, Muhadjir mengungkapkan adanya ketimpangan di wilayah Indonesia bahwa ada kecenderungan, semakin ke timur semakin timpang sehingga yang paling timpang tentu saja Papua. Hal itu menurutnya, lantaran Indonesia adalah negara kepulauan yang juga membuat mobilitas antar pulau menjadi terbatas sehingga pemerataan penduduk juga tidak tercatat secara cepat.
Kecenderungan itupun sejalan dengan data BPS yang menunjukkan terdapat 3 provinsi di wilayah timur dengan angka kemiskinan masih tinggi menyusul Papua dan Papua Barat di 5 provinsi dengan kemiskinan tertinggi. Ketiga provinsi itu adalah Nusa Tenggara Timur 19,96 persen, Maluku 16,42 persen dan Gorontalo 15,15 persen.
Lantaran aspek keterjangkauan wilayah itulah diantaranya menyebabkan sulitnya menangani masalah kemiskinan di Papua dibandingkan dengan daerah di Jawa ataupun di Jakarta. Padahal, Muhadjir menyebut, jumlah penduduk Papua pun sangat minim, namun luas pulau Papua justru tiga kali lebih besar dibandingkan Pulau Jawa.
“Papua itu pulaunya besar, 3 kali lipat dari Pulau Jawa tapi dengan bentuknya sangat kecil memang kemudian penanganannya juga sangat besar, sangat sulit,” paparnya.
“Jadi kalau menangani angka kemiskinan, kalau di Papua itu ada 1.000 orang miskin kemudian di Jakarta ada 10.000 orang miskin, maka biaya yang dibutuhkan itu lebih mahal menangani 1.000 orang miskin di Papua daripada disini (Jakarta). Jadi, incremental capital-output ratio sangat tinggi. Untuk menghasilkan output yang sama, dibutuhkan capital yang berlipat ganda dibanding disini,” sambungnya.
Selain itu, dia menyontohkan soal pemberian bantuan sosial dari pemerintah kepada masyarakat di Papua.
“Jadi kalau berikan bansos nilainya sama dengan Jateng di Papua, enggak nendang sama sekali,” ungkap Muhadjir.
Sama halnya dengan pembangunan sekolah di Jawa dan di Papua. Menurutnya, anggaran senilai Rp 3 miliar untuk membangun sekolah di Jawa mungkin lebih dari cukup. Tetapi anggaran senilai Rp 10 miliar di Papua belum tentu dapat membangun sekolah yang sama seperti di Jakarta. Oleh sebab itu, Muhadjir mengatakan, pembangunan di Papua juga tidak bisa dibandingkan dengan di wilayah Jawa.
“Karena untuk membangun sekolah di Jawa Tengah itu Rp 3 miliar sudah jadi sekolah tapi kalau di Papua 10 miliar belum tentu jadi sekolah. Kenapa? Karena wilayahnya sangat jauh,” ujar Muhadjir.
Hal itu juga terlihat saat penyaluran bantuan ke Distrik Agandugume, Papua Tengah yang dilanda kelaparan akibat kekeringan. Menurutnya, akses ke lokasi yang cukup sulit juga membutuhkan biaya besar seperti pemerintah saat itu harus menyewa pesawat senilai Rp 35 juta.
Bantuan misalnya beras yang dibawa pun juga disesuaikan dengan kapasitas beban yang diangkut pesawat. Kondisi itu menggambarkan sulitnya aksesibilitas daerah yang berdampak pada harga barang dan pangan disana. (UWR)