JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo didesak segera mencopot Tito Karnavian dari jabatan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Desakan ini dilontarkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) berkaitan dengan langkah pemilihan Penjabat Kepala Daerah termasuk 10 Penjabat Gubernur baru-baru ini.
Mendagri dinilai lagi-lagi memutuskan penunjukan jabatan Pj Kepala Daerah dengan tidak demokratis dan tidak taat administrasi. Teranyar, Mendagri melantik sebanyak 10 Pj Kepala Daerah yakni Pj Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin, Pj Gubernur Jawa Tengah Nana Sudjana, Pj Gubernur Sumatera Utara Hassanudin.
Pj Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya, Pj Gubernur Papua Ridwan Rumasukun, Pj Gubernur NTT Ayodhia Kalake, Pj Gubernur NTB Lalu Gita Ariadi, Pj Gubernur Kalimantan Barat Harrison Azroi, Pj Gubernur Sulawesi Tenggara Andap Budhi, dan Pj Gubernur Sulsel Bachtiar Baharuddin.
“(KontraS dan ICW mendesak) Pemerintah dalam hal ini Presiden mencopot Tito Karnavian sebagai Mendagri karena terbukti maladministrasi dan tidak patuh terhadap peraturan perundang-undangan serta mengabaikan kesempatan untuk memperbaiki tata kelola penunjukan Penjabat Kepala Daerah,” demikian bunyi salah satu pernyataan KontraS dan ICW, dikutip dari siaran pers di Jakarta, 7 September 2023.
Pasalnya, langkah pengangkatan 10 Pj Kepala Daerah yang terbaru disebut merupakan bentuk pembangkangan ulang Mendagri atas sejumlah peraturan perundang-undangan. Masyarakat di daerah pun dipaksa menerima pemimpin sementaranya tanpa melalui proses yang partisipatif dan akuntabel. Selain itu, KontraS dan ICW menilai, hak masyarakat untuk mengetahui kualifikasi Kepala Daerahnya lewat proses penjajakan dan penjaringan pun dinihilkan.
“Mendagri kembali membangkangi Putusan MK Nomor 67/PUU-XX/2022 yang mengamanatkan dibentuknya peraturan teknis sebagai turunan dari Pasal 201 UU no. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Jika ditelusuri, MK bahkan mengamanatkan agar pengisian posisi Penjabat Kepala Daerah harus dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan publik luas. Putusan MK tersebut pun dipertegas dengan rekomendasi Ombudsman yang menyatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia telah terbukti melakukan maladministrasi dalam prosedur pengangkatan Penjabat Kepala Daerah dan mengabaikan kewajiban hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.
“Adapun Ombudsman RI juga merekomendasikan Kemendagri agar melakukan tindakan korektif salah satunya menyiapkan naskah usulan pembentukan Peraturan Pemerintah terkait proses pengangkatan, lingkup kewenangan, evaluasi kinerja hingga pemberhentian Penjabat Kepala Daerah. Mendagri diberi tenggat dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari untuk melaksanakan tindakan korektif tersebut,” sambungnya.
Disebutkan, selain proses yang serampangan dan penuh kecacatan hukum, situasi pun kian diperparah dengan aroma conflict of interest dalam proses penunjukan Pj Kepala Daerah ini.
“Kami menilai bahwa beberapa Kepala Daerah yang ditunjuk untuk mengisi pos-pos yang kosong merupakan kepentingan pemerintah pusat untuk mengakselerasi kepentingan di daerah. Hal tersebut misalnya tercermin dari penunjukan Nana Sudjana yang ditempatkan sebagai Pj Gubernur Jawa Tengah. Sebelumnya Nana Sudjana merupakan Polri yang sudah purna tugas dan sebelumnya pernah menjabat sebagai Kapolresta Solo pada 2010, saat Joko Widodo masih menjabat sebagai Wali Kota Solo. Kedekatan Nana dapat dimaknai sebagai salah satu upaya ‘mengamankan’ agenda politik menuju Pemilu 2024 mengingat Jawa Tengah merupakan salah satu lumbung suara,” katanya.
Lebih lanjut, KontraS dan ICW juga mendesak pemerintah untuk mengikuti prosedur administrasi yang telah ditentukan oleh Putusan MK dan rekomendasi Ombudsman tersebut yakni dengan membuat Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana dalam pengangkatan Penjabat Kepala Daerah.
“(Selain itu, red) Pemerintah harus mengevaluasi tata kelola penunjukan Penjabat Kepala Daerah yang berjalan selama ini. Presiden harus menginstruksikan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia untuk memperbaiki tata kelola penunjukan Penjabat Kepala Daerah agar diselenggarakan secara transparan, partisipatif, akuntabel dan profesional sesuai dengan AUPB.
Kemudian, pemerintah diminta harus membatalkan penempatan TNI-Polri sebagai Penjabat Kepala Daerah. Langkah ini selain bertentangan dengan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, juga hanya akan membangkitkan hantu dwi fungsi TNI-Polri sebagaimana terjadi pada era Orde Baru. Selain itu, berbagai Purnawirawan TNI-Polri pun harus dievaluasi mengingat unsur TNI-Polri memiliki pengaruh besar dan kuat dugaan berkaitan dengan agenda tertentu;
“(Selanjutnya) Lembaga pengawas pemerintah seperti DPR maupun aparat penegak hukum untuk mengawasi dan mencermati seluruh langkah penunjukan Penjabat Kepala Daerah guna menghindari adanya muatan conflict of interest, terlebih dalam tindakan yang menyeret TNI-Polri untuk terlibat pada ranah sipil, seperti Penjabat Kepala Daerah,” sebutnya. (UWR)