JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Pengadilan Negeri Jakarta Timur kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan. Sidang kali ini mengagendakan pemeriksaan terhadap Fatia Maulidiyanti.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mendapat giliran bertanya terlebih dahulu menggali fakta berkaitan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam penulisan kajian cepat beserta perannya, mekanisme penulisan, tahapan perekaman podcast, dan alasan Fatia mewakili 9 lembaga masyarakat sipil. Lebih lanjut, Jaksa menggali data keterlibatan perusahaan Luhut Binsar Pandjaitan yakni PT Toba Sejahtera.
Dalam sidang ini, Fatia menunjukan potensi conflict of interest, indikasi terlibatnya pejabat tinggi terkait dengan kepentingan bisnis pertambangan di Intan Jaya, Papua. Keterlibatan beberapa Purnawirawan Jenderal tentu memberikan pengaruh terhadap lancarnya aktivitas pertambangan yang terjadi di Papua.
“Keberadaan Purnawirawan dalam beberapa kasus nyatanya dapat melakukan ‘back-up’ untuk beberapa kepentingan perusahaan seperti pengamanan dan perizinan. Berkali-kali Fatia juga menegaskan bahwa podcast yang menyebut nama Luhut Binsar Panjaitan bukan sebagai pribadi, melainkan karena kedudukannya sebagai pejabat publik,” dikutip dari siaran pers KontraS, Selasa (29/8/2023).
Selain itu, dalam keterangannya Fatia menegaskan bahwa advokasi terhadap kasus yang tercantum pada kajian cepat sempat terhenti karena adanya somasi yang dilayangkan oleh Luhut Binsar Panjaitan. Situasi akhirnya diperparah dengan pelaporan polisi hingga kasus ini sampai ke tahap persidangan.
Dalam sidang ini, Fatia menyampaikan bahwa tidak menyesali perbuatannya karena apa yang dilakukan merupakan penyampaian pendapat sebagai bagian dari hak asasi manusia dan upaya untuk menyuarakan permasalahan di Papua. Selain itu, hal-hal yang disampaikan oleh Fatia berbasis pada hasil riset dalam hal ini kajian cepat.
Lebih lanjut, Fatia bersama kuasa hukumnya berusaha menunjukan sejumlah alat bukti yang semakin memperkuat keterlibatan perusahaan tambang milik luhut di Papua. Hal tersebut merupakan perwujudan hak Fatia sebagai terdakwa untuk mengusahakan alat bukti yang menguntungkan sebagaimana yang diatur KUHAP.
“Namun, ketika kami memperlihatkan bukti-bukti tersebut di hadapan majelis hakim, jaksa justru bertindak tak acuh dengan menyebut bahwa ‘tidak tertarik’ pada bukti tersebut. Kami mengecam keras sikap jaksa tersebut, sebab menunjukan tindakan ketidak profesionalan profesi terhadap pemberian layanan prima yang harus menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia sesuai Kode Perilaku Jaksa. Sikap ini tentu bentuk arogansi Jaksa dalam kaitan tugasnya menemukan kebenaran materil,” sebutnya.
Pihak Fatia menilai, sebuah riset seharusnya dijawab dengan riset tandingan lewat mekanisme hak jawab bagaimanapun caranya, bukan justru melakukan somasi dan laporan polisi. Sebab, permasalahan hukum akan mengakibatkan berhentinya diskursus terhadap substansi riset.
Oleh sebab itu, Tim Advokasi untuk Demokrasi menyampaikan, kasus ini kembali menegaskan bahwa Luhut merupakan pejabat anti-kritik. KontraS beberapa kali membuat riset yang sifatnya mengkritik pemerintah seperti halnya: Catatan 3 Tahun Jokowi- Ma’ruf Amin Tiga Tahun Bekerja, Kemunduran Demokrasi Kian Nyata; Laporan Hari Bhayangkara KontraS 2022 “Persisi: Perbaikan Palsu Institusi Polisi”; Catatan 2 Tahun Pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin: Demokrasi Perlahan Mati di Tangan Jokowi; dan Catatan 100 Hari Kapolri, Minim Perbaikan dan Melanggengkan Kekerasan. Beberapa pejabat yang disebutkan dalam riset dan laporan tersebut pun tak pernah melakukan somasi dan laporan polisi.
“Dalam konteks advokasi berkaitan dengan kajian cepat yang memuat dugaan conflict of interest yang dilakukan oleh pejabat publik, koalisi masyarakat sipil sudah melaporkan temuan tersebut ke berbagai lembaga negara seperti halnya Komnas HAM. Sayangnya, sampai saat ini tidak pernah ada tindak lanjut terhadap laporan tersebut,” ungkapnya.
“Selain itu, pada Maret 2023, Fatia dan Haris pun melaporkan dugaan skandal kejahatan ekonomi di Intan Jaya Papua. Laporan pun diabaikan dengan alasan locus delicti yang terjadi bukan di Jakarta. Hal ini tentu saja salah satu bentuk praktik diskriminatifnya penegakan hukum,” sambungnya. (UWR)