PAPUA BARAT, JAGAMELANESIA.COM – Permasalahan lingkungan hidup terutama krisis iklim akibat semakin masifnya emisi karbon dari operasional perusahaan migas gencar disuarakan. Baru-baru ini, Walhi Papua pada Kamis (24/8/2023) menyampaikan protesnya terhadap para pemodal bahan bakar fosil terbesar di Jepang-Mizuho, Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), Sumitomo Mitsui Banking Corp (SMBC) dan perusahaan energi JERA.
Pasalnya, sejak penandatanganan Perjanjian Paris tentang iklim tahun 2015, ketiga megabank itu terus memberikan dukungan finansial kepada industri bahan bakar fosil sebesar US$545,2 miliar di seluruh dunia. Dari jumlah ini, US$ 100,5 miliar digunakan untuk proyek dan perusahaan bahan bakar fosil seperti proyek lapangan gas tangguh di Teluk Bintuni.
“Saat ini bank-bank besar ini tengah mengadakan pertemuan pemegang saham mereka, kami hendak merespon pertemuan mereka melalui aksi protes menuntut diakhirinya pembiayaan proyek gas mereka yang mendorong semakin banyaknya solusi palsu untuk krisis iklim seperti proyek LNG di Teluk Bintuni,” kata Ketua KOMPAP-Komunitas Mahasiswa Papua Pecinta Alam Papua, Pilipus Cambu dalam keterangan resminya.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Papua, Peuki mengatakan, profil perusahaan-perusahaan ini dipenuhi dengan investasi kotor dan mematikan dalam proyek bahan bakar fosil yang menyebabkan kerusakan besar pada kesehatan, mata pencaharian, dan ekosistem lokal serta mengeluarkan berton-ton karbondioksida ke atmosfer.
“Meskipun mereka menyampaikan adanya urgensi mencapai nol emisi global dengan cepat untuk mengatasi krisis iklim dan meskipun mereka menyatakan komitmen untuk menyelaraskan dengan tujuan iklim, tidak ada perubahan mendasar dalam kebijakan dan operasi mereka,” tegas Peuki.
Ancaman dampak lingkungan dan sosial ini telah lama disuarakan Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma. Anggota Komite I DPD RI itu kerap turun bertemu langsung dengan masyarakat sekitar wilayah operasional BP Tangguh dan mendapati beragam persoalan lantaran masyarakat disana selama ini hidup dalam serba keterbatasan.
“Masalah dampak sosial dan lingkungan soal keberadaan perusahaan migas, BP Tangguh di Bintuni ini memang harus mendapat perhatian serius. Faktanya, kondisi masyarakat ring I LNG Tangguh masih memprihatinkan. Masyarakat direlokasi namun tidak benar-benar diperhatikan sebagaimana AMDAL BP Tangguh. Ini sangat miris, mengingat perusahaan ini sudah sangat lama beroperasi di Bintuni, tapi masalah sosial dan lingkungannya belum tuntas juga,” ujar Filep kepada media ini, Jumat (25/8/2023).
“Belum lagi, Walhi Papua mempersoalkan ekspansi gas fosil di Teluk Bintuni yang akan menghambat transisi energi bersih. Kita tahu ini akan menimbulkan ancaman emisi gas rumah kaca yang berkepanjangan karena infrastruktur gas dapat bertahan hingga 30 tahun. Transisi energi bersih ini kan agenda pemerintah, seperti di Pegunungan Arfak, baru diresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Anggi, dibangun oleh ESDM. PLTMH ini kan tujuannya agar Pegaf menjadi kabupaten ‘green’ atau terbebas dari penggunaan energi fosil maupun bahan bakar minyak. Jelas ini isu lingkungan,” katanya.
Dari gambaran itu, Filep menekankan pentingnya pemerintah melakukan evaluasi dan audit menyeluruh terhadap pelaksanaan AMDAL perusahaan. Ia mengingatkan, masyarakat Suku Sebyar pada 13 Juli lalu dan masyarakat adat Mbaham Matta sudah mengirim surat resmi kepada Wapres supaya dicarikan solusi terkait keberadaan BP Tangguh yang tidak memberi dampak positif bagi kehidupan mereka.
“Bukan hanya Sebyar. Masyarakat adat Mbaham Matta di Kabupaten Fakfak Wilayah Domberay juga meminta pemerintah untuk mengevaluasi dan mengaudit Tanggung Jawab Sosial BP Tangguh selama 19 tahun pelaksanaan KKS I di Teluk Bintuni, sebelum melakukan revisi terhadap AMDAL untuk produksi Train III dari sumur Ubadari di wilayah adat mereka di Fakfak,” ujarnya.
“Artinya, dokumen AMDAL penting untuk dicermati kembali karena adanya AMDAL menjadi salah satu usaha untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan guna mencegah kerusakan lingkungan. Kewajiban AMDAL ini sudah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 khususnya Pasal 22,” kata Pace Jas Merah ini.
Lebih lanjut, Filep menegaskan, aparatur pemerintah yang bertugas sebagai evaluator sudah semestinya dapat memahami isi dari dokumen AMDAL dan mampu memberikan rekomendasi kepada perusahaan berdasarkan dokumen AMDAL yang sudah dievaluasi.
Dirinya berharap, evaluasi AMDAL itu segera dilakukan agar ada perbaikan-perbaikan baru sesuai dengan isu krisis iklim dan masalah sosialnya yang nantinya juga akan ada pengaturan yang lebih baik terutama berdampak positif bagi masyarakat setempat. (UWR)