JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Ketua KPK RI Firli Bahuri merespons kritik Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean beberapa waktu lalu yang membandingkan Kejagung dan KPK terkait keberanian lembaga mengungkap kasus besar atau ‘the big fish’.
Dalam konferensi persnya di Gedung Merah Putih KPK, Senin (14/8), Firli menjawab hal itu dengan menyinggung pengungkapan kasus Gubernur nonaktif Papua, Lukas Enembe. Menurutnya, Lukas Enembe di Papua selama 10 tahun lamanya tak tersentuh hukum, kini telah ditangkap KPK dan menjalani proses hukum.
“Ada kesan bahwa KPK tidak menangani kasus big fish. Tentulah, harus kita tanya 10 tahun Lukas Enembe di Papua tidak tersentuh hukum, apakah itu bukan big fish?” ungkap Firli Bahuri.
Firlu lantas menyampaikan bahwa penegakan hukum di Papua itu berjalan lancar dan tidak menimbulkan kegaduhan. Sebelum penangkapan Lukas Enembe, Firli bersama tim penyidik KPK diketahui juga sempat bertemu langsung dengan Enembe di kediamannya di Papua dengan situasi dikelilingi oleh ribuan massa pendukung Enembe saat itu.
Akhirnya Enembe berhasil ditangkap KPK di sebuah rumah makan di Papua. Enembe kini dijerat kasus dugaan suap dan gratifikasi yang nilainya mencapai Rp 46,8 miliar. Selain itu, dirinya juga dijerat kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Dulu pernah mengatakan 10 tahun Gubernur Papua tidak tersentuh hukum tapi faktanya kita selesaikan dan penegakan hukum di Papua berjalan profesional dan tidak ada kegaduhan,” ujarnya.
Di kesempatan sebelumnya, Ketua Dewas KPK mengatakan pihaknya menyayangkan KPK saat ini belum bisa mengungkap kasus besar. Menurutnya, saat ini KPK lebih banyak menangani kasus-kasus operasi tangkap tangan (OTT), yakni tentang kasus suap Aparatur Penyelenggara Negara.
“Hanya sayangnya, kita belum berhasil mengungkap kasus-kasus yang besar, kasus-kasus yang kita beri nama dulu ‘the big fish’. Itu jarang terjadi dilakukan oleh KPK,” kata Ketua Dewas KPK dalam sebuah diskusi yang ditayangkan di kanal YouTube KPK, dikutip Jumat (18/8/2023).
“Cuma sayangnya itu, ya saya bilang kita kurang bisa membongkar kasus-kasus yang sifatnya besar. Karena kita mesti tahu juga bahwa kegiatan KPK itu harusnya terasa mensejahterakan masyarakat banyak, ada yang dirasa oleh publik,” sambungnya.
Keterangan saksi yang terbiasa membuat dan menjual rekening
Sementara itu, perkembangan terbaru soal proses hukum Lukas Enembe, Jaksa menghadirkan seorang pedagang sembako asal Jepara, Maizunnandhib, sebagai saksi kasus suap dan gratifikasi. Dalam keterangannya, Maizunnandhib mengaku telah menjual 500 rekening bank, termasuk ke Kamboja.
Maizunnandhib mengatakan dirinya biasa bahkan membuat rekening atas nama warga kampung dengan menggunakan KTP kemudian rekening tersebut dijual. Menurutnya, satu rekening dihargai Rp 1 juta, dimana uang sebanyak Rp 700 ribu diberikan kepada pemilik KTP.
Maizunnandhib dicecar soal rekening bank atas nama saksi Rifky Agereno dimana dalam dakwaan Enembe, rekening atas nama Rifky itu digunakan untuk menampung uang dari pengusaha untuk Lukas Enembe.
Jaksa mengatakan Enembe menerima uang Rp 10,4 miliar dari Piton Enumbi selaku pemilik PT Melonesia Mulia yang sebagian uang dari Piton Enumbi untuk Lukas Enembe itu disebut jaksa dikirimkan ke rekening bank atas nama Rifky.
Jaksa menyebut Piton mengirim uang Rp 3 miliar kepada Lukas lewat rekening bank atas nama Rifky pada 27 Mei 2020. Pada 22 Juni 2020, Piton disebut kembali mengirim uang kepada Lukas Enembe senilai Rp 2,5 miliar lewat rekening bank Rifky. Selanjutnya, kata jaksa, rekening Rifky meneruskan uang senilai Rp 3,3 miliar ke rekening Lukas.
Selain dari Piton, Lukas juga didakwa menerima Rp 35,4 miliar dari Rijatono Lakka selaku Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo. Secara total, Lukas Enembe didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 46,8 miliar. (UWR)