BINTUNI, JAGAMELANESIA.COM – Masyarakat adat suku Kuri di Kabupaten Teluk Bintuni merasa dirugikan dan menderita di atas tanahnya sendiri lantaran hasil hutannya dikelola oleh perusahaan Wijaya Sentosa dan PT. Wukira Sari.
Salah seorang warga Kuri, Ruben Pigo menyampaikan bahwa seharusnya masuknya sebuah investasi dapat memberikan dampak yang baik terutama bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, dirinya melihat, investasi yang ada justru meresahkan masyarakat Kuri di hampir semua segi kehidupan mereka.
“Dataran Kuri ini jadi kebun bagi para investor dan pemangku kepentingan, dan kami masyarakat Kuri justru menderita dan merugi. Kami tidak tahu siapa yang salah, kami hanya minta pemerintah hadir melihat hal ini,” ujarnya kepada media ini, Rabu (5/7/2023).
“Kami tidak mengerti tentang investasi. Jujur kita orang tidak tahu mana investasi yang baik dan mana investasi yang buruk. Yang kami tahu adalah masak kita punya kayu ini dibawa utuh-utuh saja begitu ke perusahaan ini punya pabrik disana, baru dorang kelola jadi kayu, jadi dorang jual harga pasti mahal. Masak kita ini hanya seperti dorang punya kebun yang dorang datang panen bawa pergi begitu saja dengan harga tu Rp 135.000 per kubik, itu murah sekali. Baru dorang jual keluar itu harga berapa. Ini tidak adil, ini seperti pencuri,” katanya.
Ruben lantas meminta perhatian pemerintah kabupaten hingga Provinsi Papua Barat atas kondisi yang dirasa tidak adil tersebut. Dirinya meminta agar pemerintah membangun pabrik kayu dan menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar.
“Saya katakan pencuri, karena kayu itu ada di Papua Barat baru dorang beli disini terus bawa kelola jadi kayu, jadi jual harga besar baru provinsi kasih kita masyarakat harga cuma Rp 135.000,- ini terlalu menyusahkan kita. Masak mereka tidak bisa atau bapak gubernur tidak bisa buat pabrik kayu disini, agar ada lapangan kerja bagi kita di Papua Barat. Jadi kami minta maaf kami akan hentikan pemuatan sampai harga membaik,” ucap Ruben.
Ruben Pigo juga menyesalkan hal ini karena harga kayu yang rendah namun pihak pemerintah hanya membiarkan hingga berlarut larut. Sementara itu, lanjut Ruben, hutan rusak dan kayu semakin berkurang sehingga menimbulkan konflik di tengah keluarga akibat hasil hutan yang begitu banyak tetapi harga beli rendah.
“Pemerintah membiarkan, mengambil pajak untuk siapa dan untuk daerah mana mereka bangun dari hasil pajak. Kenapa tidak kepada kami yang memberikan hasil atau sebagai daerah penghasil. Kami kesal kepada pak gubernur kenapa diam saja,” tutupnya. (MW)