JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Masyarakat adat Suku Awyu Papua terus berjuang mempertahankan hak-hak mereka atas eksistensi dan keberlanjutan hutan adat yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Awyu. Pasalnya sekitar 8.828 hektare hutan adat mereka diserobot dua perusahaan sawit yakni PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama.
Kedua perusahaan itu diketahui telah dicabut izin konsesinya oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar melalui Surat Keputusan NOMOR: SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. Akan tetapi, kedua korporasi ini tak terima dan diduga masih beroperasi hingga saat ini.
Bahkan, PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama mengajukan gugatan atas keputusan Menteri LHK tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Berdasarkan data pada Situs Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, PT Megakarya Jaya Raya mendaftarkan gugatan mereka pada 10 Maret 2023 dengan nomor perkara 82/G/2023/PTUN.JKT.
Gugatan itu mempersoalkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1150/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT Megakarya Jaya Raya di Kabupaten Boven Digoel.
Hal yang sama juga dilakukan oleh PT Kartika Cipta Pratama yang mendaftarkan gugatan pada 15 Maret 2023 dan teregistrasi dengan nomor perkara 87/G/2023/PTUN.JKT. Perusahaan juga menggugat Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1157/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT Kartika Cipta Pratama di Kabupaten Boven Digoel.
Menanggapi hal itu, Masyarakat Awyu mengajukan permohonan intervensi sebagai tergugat II ke PTUN Jakarta dalam dua gugatan kedua perusahaan tersebut. Pejuang lingungan hidup Suku Awyu Hendrikus Franky Woro menyampaikan langkah itu ditempuh lantaran masyarakat adat khawatir konsesi dua perusahaan itu akan merusak hutan adat.
Menurutnya, kehidupan suku Awyu sangat tergantung pada tanah, hutan, sungai, rawa, dan hasil kekayaan alam lainnya.
“Itu semua menjadi sumber mata pencaharian, pangan, dan obat-obatan, serta identitas sosial budaya kami. Hutan adalah rekening abadi bagi kami masyarakat adat,” kata Franky di Jakarta Pusat, Selasa (8/5/2023).
Lebih lanjut, Franky menerangkan bahwa penting bagi masyarakat Awyu mengajukan permohonan intervensi lantaran akan akan terdampak langsung atas putusan dari gugatan terebut. Selain itu, keterlibatan masyarakat adat juga agar masyarakat mendapatkan informasi yang transparan terkait permasalahan yang menyangkut hutan adat mereka.
“Tujuan kami ikut serta dalam persidangan ini untuk menegaskan bahwa Papua bukanlah tanah kosong. Meski belum mendapatkan pengakuan dari negara, kami jauh-jauh datang ke Jakarta dan mendukung negara untuk melindungi hutan kami dari perusahaan yang ingin merusaknya. Gugatan kedua perusahaan itu akan berdampak kepada kehidupan suku Awyu, kami harus terlibat untuk mempertahankan hak-hak kami,” tegasnya.
Masyarakat adat Awyu mengadu ke Komnas HAM
Tak hanya mengajukan permohonan intervensi ke PTUN Jakarta, perwakilan masyarakat adat suku Awyu didampingi tim kuasa hukum juga melakukan pengaduan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
“Meski belum mendapatkan pengakuan dari negara, kami jauh-jauh datang ke Jakarta dan mendukung negara untuk melindungi hutan kami dari perusahaan yang ingin merusaknya,” ujar Franky dalam keterangan tertulis, Selasa (10/5/2023).
Sebelumnya, Franky juga telah mengajukan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke PTUN Jayapura pada 13 Maret lalu. Gugatan itu berkaitan dengan izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Provinsi Papua untuk perusahaan PT Indo Asiana Lestari (IAL), yang juga berlokasi di Boven Digoel, Papua Selatan.
Menurut Franky, perizinan untuk sejumlah perusahaan sawit tersebut mengancam hutan adat dan ruang hidup mereka. Oleh sebab itu, masyarakat adat suku Awyu turun langsung ke Jakarta untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Aduan itu disambut baik oleh Komnas HAM RI. Dalam kesempatan itu, Komisioner Komnas HAM Hari Kurniawan dan Saurlin Siagian menyampaikan Komnas HAM akan turut mengajukan amicus curiae atau sahabat pengadilan dalam permohonan intervensi masyarakat adat suku Awyu.
Adapun kedua perusahaan yakni PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama lahannya terletak berdampingan di Provinsi Papua Selatan, terhubung ke Grup Hayel Saeed Anam.
Lahan hutan seluas 8.828 hektare masyarakat adat telah dibuka oleh pemegang kedua konsesi tersebut, namun terdapat 65.415 hektare hutan hujan asli yang masih bisa diselamatkan yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat adat suku Awyu. (UWR)