Oleh : M. Riski Tidore
Anggota Komunitas Akal Sehat (Komunas)
TERNATE, JAGAMELANESIA.COM – Awal pertama saya menginjakkan kaki di perguruan tinggi pada tahun 2019 lalu di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Fakultas Teknik Informatika dan megikuti proses perkuliahan selama semester satu, saya sungguh tidak pernah tahu bahwa ternyata kuliah itu pentingnya kita membaca buku.
Waktu itu jangankan membaca buku, mengenal buku saja hampir tidak. Nantinya ketika saya bertemu dengan seorang senior di kampus namanya Hamsa Tidore, kebutulan kami berdua tinggal sekampung, di Kabupaten kepulauan Sula, Desa Waiboga.
Saya ingat waktu kami berdua bertemu di kampus pada kala itu, dia mengajak saya untuk kita ke kosannya, lalu saya pun menyetujui ajakannya itu selanjutnya kami berdua langsung berjalan untuk menuju ke kosannya. setelah kami sampai di sana saya di persilahkan masuk ke kamar kosannya oleh kakak Hamsa, di kamarnya itu saya melihat ada banyak sekali buku-buku bacaan, kalau saya tidak salah ada sekitar seratusan buah buku yang tersusun rapi di lemarinya.
Saya sempat bertnya kepada kakak Hamsa bahwa buku yang sebanyak ini apakah sudah dibacakan habis atau belum, lalu ia menjawab dengan nada senyum bahwa buku-buku itu baru sebagian saja yang di baca, dan sebagiannya belum sempat dibacakan sebab masih ada sedikit kesibukan di kampus dan kesibukan lainnya. Sekejab itu saya tidak lagi bertanya dan hanya duduk diam saja.
Setelah kami bersantai-santai duduk di kamar kosannya, kemudian kakak Hamsa mengajak saya untuk makan, kebutulan saya juga sewaktu pergi kuliah belum sempat makan pagi. Dia menyodorkan nasi dan tahu isi yang dibelikannya di pinggiran jalan sewaktu kami berdua berjalan menuju kosannya, saya pun mengiyakan untuk makan bersamanya. Selepas makan ia memberiku sebatang rokok surya lalu ia membuatkan secangkir kopi kapal api untuk kami berdua.
Beberapa saat kemudian kakak Hamsa menanyakan kepada saya tentang buku apa yang sudah saya baca, saya pun tersontak mendengarnya karena saya sendiri baru mendengarkan bahasa seperti itu lagi, memang bahasa itu bagi semua orang mungkin hal yang biasa, tapi bagi saya pribadi itu hal yang baru dan sedikit berat di jawab, tapi apalah daya, saya dengan nada rendah mencoba menjawabnya bahwa sampai dengan saat ini saya belum pernah membaca buku, seperti yang sering dibacakan oleh teman-teman mahasiswa lainnya.
Setelah kakak Hamsa mendengarkan jawaban saya itu lalu Kakak Hamsa bergegas mendekati lemari buku dan mengambil sebuah buku miliknya yang berjudul “pengantar filsafat: dari kalasik, Moderen hingga Postmodernisme, buku yang di tuliskan oleh Prof. Alimaksum, diberikanlah kepada saya dan menyuruh untuk di baca.
Beranjak dari situlah saya pertama kalinya berkenalan dengan buku. Tapi ada hal lain yang membuat saya masih lalai yakni kemalasan, sehingga saya hanya sebatas berkenalan saja dengan buku, tidak seoenuhnya menjadikan buku itu sebagai teman akrab saya dikerenakan sudah terbiasa dengan malas belajar semenjak sekolah sehingga terbawa-bawa sampai di bangku kuliah.
Setelah pulang dari kosannya Kakak Hamsa sekejab itu juga niat saya untuk membaca buku hilang dengan sekejab. Padahal kakak Hamsa sebagai seorang senior pasti punya harapan besar buat saya sebagai adikknya apalagi kami tinggal sekampung. Namun semua itu hanyalah hampa bagi saya, dikarenakan saya sendiri masih belum siap menerima belajar sebagai tujuan proses hari ini untuk persiapan diri saya untuk ke depannya.
Saya sadari betul bahwa memang tidak semudah membalikan telapak tangan mau merubah diri sesorang dari kebiasaan lamanya menjadi kebiasaan yang baru, maka harus membutuhkan dorongan kuat dari luar seperti dorongan dari senior, teman, atau siapa saja. Apalagi orang yang keras kepala (tidak mau di atur-atur) seperti saya ini. Tipe saya lebih suka bersama dengan teman-teman yang tidak super sibuk karena waktu mereka tersisa untuk buat hal-hal yang menyenangkan hati, dibandingkan berteman dengan mereka yang suka belajar waktu mereka sangat terbatas, mereka sibuk dengan berbagai hal seperti sibuk berdiskusi, kajian, mengurus organisasi dan lainnya.
Lambat laun tak terasa saya sudah berada di semester tiga semester ganji 2020 lalu, juga waktu itu bertepatan dengan aktifitas libur dari kampus yang menginformasikan untuk seluruh mahasiswa di liburkan sampai tiga bulan kedepan. karena kampus dalam proses penerimaan mahasiswa baru (OSPEK). Saya sangat senang pada kala itu mendengar informasi libur karena bisa pulang kampung untuk berlibur dengan kedua orang tua saya di kampung halaman di Desa Waiboga.
Dari pengalaman pulang kampung itu banyak hikmah yang saya ambil dari sana, bukan hanya bahagia karena kembali berjumpa dengan keluarga, tapi dibalik itu pula ada hikmah yang membuat saya merasa sangat sedih dan malu, karena tidak bisa seperti teman-teman mahasiswa lainnya yang bisa membuktikan bahwa mereka selama kuliah itu mereka belajar. Ternyata tuntutan di luar sana khususnya di masyarakat mengharuskan mahasiswa itu harus tahu segalanya, setidaknya bisa membuat masyarakat kampung bisa yakin bahwa mahasiswa itu agen of change.
Peristiwa yang membuat saya tersentuh itu berawal dari adanya pertemuan mahasiswa Waiboga. yang di motori oleh Organisasi Himpunan Mahasiswa Waiboga (HPMAWA) pertemuan tersebut bertempat di desa Waiboga, dengan tujuan untuk mempereratkan lagi hubungan persaudaraan kami, khususnya mahasiswa Waiboga yang notabenenya berkuliah di berbagai macam wilayah kota yang ada di tanah air ini yakni Sanana, Ternate, Makasar, Bandung dan kota lainnya.
Pada saat rapat di mulai saat itu bukan hanya dihadiri oleh mahasiswa saja tapi juga dihadiri oleh sebagian masyarakat Waiboga yang turut melibatkan diri mereka dalam rapat kemahasiswaan tersebut, tapi sayangnya rapat tersebut hanya menambahkan beban untuk saya secara pribadi, karena tidak terbiasa berbicara di hadapan orang banyak akibat takut malu dan lainnya. Maka saya hanya duduk diam dan mendengar pembicaraan mereka saja tanpa ada sepenggal kata yang saya keluarkan, saya tak tahu apa yang harus saya bicarakan disitu apalagi rapat tersebut dihadiri juga oleh Ayah saya, yang menyaksikan langsung saya di dalam forum rapat tersebut.
Saya sangat merasa malu dengan diri saya sendiri sebab teman-teman mahasiswa semuanya bisa berbicara di dalam forum rapat sementara saya sendiri tidak bisa seperti mereka, apa yang akan saya lakukan ketika ditanyakan oleh orang-orang di kampung saya, dan bagaimana caranya saya menjelaskan kepada ayah saya yang saat itu juga turut menyaksikan langsung rapat.
Seketika mengikuti rapat sampai dengan selesai, dan beberapa hari kemudian saya duduk bersama ayah saya di teras rumah kami, waktu itu ayah sedang minum kopi sambil berbincang dengan saya, ada banyak hal yang ayah sampaikan kepada saya melalui nasehatnya. Tanpa saya sadari pula ayah menanyakan kepada saya tentang aktifitas perkuliahan saya selama ini, dan pertanyaan dari ayah yang tidak terlupakan sampai detik ini yaitu:
“Kanapa se seng bicara di rapat waktu itu, papa Lia se cuma badiam-badiam saja itu, se ini mangkali kuliah seng balajar-balajar kaapa e, kalau kuliah kong seng balajar lebe bae Iko papa la bajaring saja, spaya dapa ikan kong jual dapa uang?”
Maksud ayah saya, kenapa saya hanya duduk diam di saat rapat (HIPMAWA) berlangsung sampai selesai bahkan bukan haanya itu, ayah justru meragukan aktifitas perkuliahan saya selama ini, kecurigaannya jangan-jangan selama kuliah saya tidak pernah belajar, juga di tegaskan oleh ayah kalaupun begitu alangkah baiknya saya berhenti untuk kuliah saja dan ikut dengannya untuk menjaring (soma) ikan di laut, agar meringankan beban keluarga dengan mendapatkan uang dari hasil jaring.
Saya hanya terdiam dan menundukan kepala seraya kehilangan semangat untuk melanjutkan kuliah lagi, sebab apa yang harus saya lakukan saat ini saya sudah terlanjur mengecewakan orang tua, sungguh hal itu membuat hati saya hancur lebur. Kemarahan, Kecewa, putus asa semuanya tercampur baur dalam diri saya ia muncul secara bersamaan.
Untuk menenangkan hati dan pikiran saya pada kala itu saya belikan sebotol cap tikus (sopi) dan saya minum untuk melepas beban pikiran, saya sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya menenangkan pikiran, saya tidak ada lagi cara lain selain harus dengan minum lalu mabuk, sebab putus asa sudah di depan mata ia telah mengelabui pikiran saya.
Saat saya selesai melakukannya (miras) saya langsung kembali ke rumah untuk beristirahat dengan tenang, setelah mulai terbangun dari tidur saya keluar rumah dan bertemu dengan senior saya yang bernama Anto Arafan, kami berdua berbincang-bincang di rumahnya, saya mencurahkan semua isi masalah yang sedang saya alami saat itu agar melepaskan semua beban dalam benak saya.
Setelah semuanya saya ceritakan kapada senior Anto lalu ia memberikan saya dengan berbagai motifasi agar saya kembali untuk bersemangat ia mengatakan bahwa anggaplah semua ini bentuk dari proses kita, jatuh bangun, akan mengajarkan kita untuk bisa menjadi tahu tentang arti hidup yang sebenarnya. Banyak hal yang ia sampaikan lagi kepada saya termasuk menyuruh saya untuk harus berproses di organisasi agar bisa seperti teman-teman yang lain, yang punya keberanian berbicara di depan umum serta memiliki wawasan berpikir yang luas.
Mulai dari berbagai motifasi dari senior Anto Arafan seakan telah mambuka kembal harapan baru untuk saya, untuk bangkit kembali dari kebodohan saya, terutama saya harus terus mengejar mimpi yang sampai hari ini terus tertanam dalam benak saya, bagaimana pun itu sulitnya harus saya berusaha untuk bisa mengembalikan martabat sebagai mahasiswa dikalangan masyarakat, yang paling terutama yakni orang tua saya.
Setelah beberapa bulan berada di kampung hingga paska dari libur kuliah saya memutuskan untuk segera kembali ke Kota Ternate tempat dimana saya berkuliah kembali melanjutkan proses kuliah seperti biasanya.
Tiba saatnya di awal semester lima muncul keinginan dalam benak saya untuk mau berproses di organisasi besar seperti HMI, kemudia saya bertanya kepada senior Anto Arafan tentang kapan perekrutan organisasi itu di buka, bagi saya entah organisasi apa saja,karena saya sangat berminat untuk mau berproses
Kemudian dikabarkan oleh senior Anto bahwa ada perekrutan kader yang di buka oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat STKIP Kie Raha Ternate, saya pun langsung merespon dengan cepat dan bersedia untuk mau mengikutinya, sehingga saya meminta kepada senior Anto untuk daftarkan nama saya. ia menginformasikan bahwa saya sudah di daftar tinggal menggu beeberapa hari lagi untuk mengikuti tahapan awal yaitu Screning Tes.
Saya pun tidak bisa menahan lagi untuk segera mengikuti training di HMI, saya semakin merasa penasaran ingin melihat dinamika forum training itu seperti apa, juga ingin mengenal jauh tentang mekanisme organisasi dan organisasi itu seperti apa. Memang sudah ada banyak teman-teman yang berbicara tentang organisasi, tapi saya tetap yakin bahwa keadaannya pasti jauh berbeda dengan apa yang akan saya alami sendiri nantinya.
Ketika tiba saatnya screning tes di mulai pukul sekitar 14:00 WIT, saya beserta dua orang teman yang bernama Indra dan Julfikar mereka berdua juga ikuti screening tes di HMI bersamaan dengan saya, mereka juga sekampung dengan saya. Tempat screning tes pada waktu itu di adakan di Literasi Baca Komunitas Akal Sehat (Komunas) STKIP, sampai dengan selesai waktunya memasuki sekitar pukul 06:00 WIT. Kemudian untuk tahapan selanjutnya yakni tahapan maperca dan training saya ikuti tahapan proses itu sampai denggan selesai hingga di kukuhkan menjadi kader HMI.
Sehabis training LK-1 di HMI, saya lalu di ajak oleh senior Anto untuk pergi ke Komunitas Akal Sehat (Komunas), tempat dimana senior Anto berproses selain di Komisariat. Pertama kalinya saya datang di Komunas saya belum terbiasa dengan teman-teman yang ada di sana saya masih merasa asing sebagai orang baru, tapi itu tidak membuat saya minder. Besok harinya dan seterusnya saya tetap datang bersama senior Anto karena niat saya datang di Komunas yaitu mau belajar.
Pertama kali membuat saya jatuh cinta dengan Komunitas karena mereka terlihat rutin membaca buku, kajian, dan terus agendakan diskusi Itulah yang membuat saya merasa tertarik untuk bergabung di Komunas. Dan tidak juga mengecewakan saya selama berproses, sebelum saya merasakan hikmahny belajar di Komunas, sebelumnya sudah dibuktikan oleh senior Anto dia sangat pandai membawakan materi seperti di (HIPMAWA), dan di tempat-tempat lainnya, secara intelektualnya saya pribadi tidak meragukan lagi.
Dari situlah yang membuat saya tetap bertahan di komunas karena saya mulai di perhatikan oleh teman-teman komunas dalam belajar, kemudia saya di ajak untuk membaca buku dengan tantangan yang diberikan kepada saya, tantangannya memang lumayan berat yaitu saya di minta untuk membacakan buku yang berjudul “Sejarah Filsafat Barat” yang ditulis oleh “Bertran Russel.” Hingga selesai dalam jangka waktu dua minggu, ternyata saya mampu melewati ujian itu dengan menyelesaikannya dalam jangka waktu yang telah dientukan oleh senior di Komunas.
Dari proses melewati malam-malam panjang itu dengan menghabiskan waktu untuk membaca buku ternyata terselib hikmah yang berharga sepanjang hayat, yakni membuat kita semakin gelisah tanpa membaca buku, juga gelisah dengan melihat berbagai problematika yang terjadi. Maka pentingnya membaca buku sebab buku adalah alat untuk kita bisa melihat masa depan dunia ini. Mungkin begitu.