JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) memberikan kuasa kepada Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB mengajukan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) terhadap Presiden Republik Indonesia yang ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi RI yang diterima pada Kamis (17/6) pukul 09.10 WIB di Jakarta.
Salah satu poin dalam permohonan tersebut adalah usulan perubahan terkait revisi UU Otsus tentang kewenangan khusus yang diamanatkan dalam UU Otsus tersebut. Menurut MRP/B dan Tim Hukum & Advokasi, hingga kini dari 24 kewenangan khusus yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, hanya 4 kewenangan kewenangan saja yang dapat dilaksanakan dalam perspektif implementasi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus tersebut.
Dalam naskah permohonan MPR/B menyebutkan 24 kewenangan khusus tersebut antara lain: (1) Dapat memiliki lambang daerah dalam bentuk bendera dan lagu sebagai panji kebesaran dan simbol kultural. (2) Kerjasama dengan lembaga atau Badan Luar Negeri bertujuan untuk memajukan pendidikan, peningkatan investasi dan mengembangkan pariwisata. (3) Pembentukan MRP. (4) Pengangkatan 1 seperempat anggota DPRP. (5) Gubernur dan Wakil Gubernur Orang Asli Papua.
Kemudian kewenangan keenam (6) Membentuk partai politik. (7) Kewajiban Parpol untuk meminta pertimbangan MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik lainnya. (8) Pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat. (9) Perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual Orang Asli Papua. (10) Pembentukan Komisi Hukum Ad Hoc.
(11) Dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri atau luar negeri untuk membiayai sebagian anggaran daerah. (12) Pembentukan pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (13) Pengangkatan Kapolda dengan persetujuan Gubernur. (14) Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi dengan persetujuan Gubernur. (15) Pendelegasian sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga asing bidang keagamaan di Provinsi Papua.
(16) Memberlakukan kebijakan kependudukan. (17) Penempatan transmigrasi dengan persetujuan Gubernur. (18) Orang Asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan mendapatkan pekerjaan. (19) Pengakuan terhadap peradilan adat. (20) Di bidang peradilan, Orang Asli Papua memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim dan Jaksa.
(21) Membentuk lembaga independen untuk penyelesaian sengketa lingkungan. (22) Pemberian jaminan hidup yang layak kepada penduduk yang menyandang masalah sosial. (23) Penanganan khusus bagi suku-suku terisolasi, terpencil dan terbaikan. (24) Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan.
Dalam matriks penjelasan pelaksanaan kewenangan tersebut, 4 kewenangan yang telah dilaksanakan antara lain (1) Pasal 6 UU Otsus Papua yaitu pembentukan legislatif Provinsi Papua sebagaimana nomenklatur DPRP dengan penambahan jumlah anggota 1 seperempat kali jumlah anggota DPRD Provinsi Papua.
Kewenangan yang terlaksana kedua (2) Pembentukan Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultur Orang Asli Papua. (3) Pemerintah Provinsi Papua dipimpin seorang kepala daerah sebagai kepala eksekutif yang disebut Gubernur dengan dibantu wakil. (4) Terkait keuangan, penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari Dana Alokasi Umum Nasional.
Selain itu, kewenangan khusus tentang Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP disebut terlaksana dengan catatan. Adapun catatan tersebut adalah terlaksana namun tidak konsisten karena dalam banyak kasus pertimbangan dan persetujuan MRP diabaikan oleh DPRP dan Pemerintah Provinsi Papua.
Naskah permohonan MRP/B diantaranya memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi memberikan putusan untuk memerintahkan Termohon (Presiden Republik Indonesia) untuk menghentikan sementara seluruh tahapan pembahasan Perubahan Kedua Rancangan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua sampai dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi.
MRP/B juga memohon untuk adanya putusan yang menyatakan Termohon (Presiden Republik Indonesia) tidak memiliki kewenangan konstitusional untuk mengusulkan perubahan kedua UU Nomor 21 Tahun 2001 tersebut. Selanjutnya, putusan hakim menyatakan bahwa MRP/B memiliki kewenangan konstitusional untuk mengusulkan perubahan kedua UU Nomor 21 Tahun 2001. MRP/B dan Tim Hukum & Advokat juga menyampaikan apabila Majelis Mahkamah Konstitusi memiliki pendapat lain diharapkan perkara dapat diputus seadil-adilnya. (UWR)