BerandaDaerahJejak Buruk PT. ANTAM Porak-Porandakan Halmahera Timur

Jejak Buruk PT. ANTAM Porak-Porandakan Halmahera Timur

HALMAHERA TIMUR, JAGAMELANESIA.COM – Hentikan Operasi, segera Evaluasi dan Rehabilitasi wilayah tambang PT. ANTAM di Kabupaten Halmahera Timur.

Pada Rabu, 7 April 2021 lalu, aktivitas  tambang PT. Aneka Tambang (ANTAM) di site Moronopo, Desa Maba Pura, Kecamatan Kota Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, mencemari sungai dan pesisir pantai hingga merusak ekosistem mangrove.

Kejadian pencemaran lumpur tambang ini bukan yang pertama, tapi sudah sering terjadi sejak PT. ANTAM mulai masuk dan beroperasi pada 2006 lalu.

Dulunya kawasan Moronopo ini adalah  tempat warga Maba dan Buli menangkap  ikan. Disini tempat ikan bertelur dan para nelayan pun menjadikan tempat ini untuk menambatkan perahu juga tempat transit.

Namun ketika PT. ANTAM beroperasi semuanya berubah, lahan pertanian dan perkebunan dilereng gunung pun beralih fungsi menjadi wilayah tambang. Ketika  musim hujan tiba, limbah tambang dengan gampangnya mengalir ke wilayah pesisir bahkan menembus laut dimana tempat atau wilayah para nelayan menangkap ikan.

Aktivitas  penambangan PT. ANTAM di wilayah Maluku Utara ini sesungguhnya telah berlangsung lama. Sejak tahun 1979  hingga 2004 misalnya, PT. ANTAM telah mengobrak-abrik Pulau Gebe Halmahera Tengah.

Sehingga sebagian besar lahan perkebunan yang sudah digarap warga beralih fungsi menjadi konsesi tambang. Kurang lebih 25 tahun mengeruk perut pulau, sejumlah kerusakan pun terjadi, mulai dari sumber air warga yang hilang dan terpaksa membeli air bersih, laut tercemar, terumbu karang, mangrove, kelapa, pala, cengkeh, dan sagu milik petani lokal juga ikut lenyap.

Reklamasi dan pertanggung jawaban sosial perusahaan (CSR) tidak cukup untuk memulihkan kerusakan sosial ekologis, termasuk perubahan pola produksi dan konsumsi warga yang kadang bergantung pada ekonomi tambang.

Ironisnya lagi, ketika PT. ANTAM memutuskan berhenti dan keluar dari Pulau Gebe, alih-alih ada upaya lanjutan untuk pemulihan ekonomi, sosial, dan ekologis, Pemerintah Daerah Halmahera Timur justru menerbitkan 12 izin tambang baru kepada sejumlah perusahaan. Hal ini tentu memperparah kerusakan bentang alam dan ruang produksi warga Pulau Gebe.

Lepas dari Pulau Gebe, jejak buruk PT. ANTAM di Maluku Utara juga terjadi di Pulau Gee. Pulau kecil yang hanya meliki luas daratan kurang lebih 171 hektar ini dikeruk PT. ANTAM sejak tahun 2003 melalui PT. Minerina Bhakti, anak perusahaaan PT. ANTAM. 

Akibatnya, pulau yang dulunya rimbun, tempat cadangan pangan warga, dan tempat singgah nelayan saat melaut kini telah tandus. Namun, tidak ada reklamasi apapun dan dibiarkan begitu saja oleh pihak managemen PT. ANTAM. Lalu PT. ANTAM berpaling ke Pulau Pakal, yang bersebelahan dengan Pulau Gee.

PT. ANTAM mulai beraksi dengan menambang nikel di pulau yang memiliki luas daratan 709 hektar ini sejak 2010. Disaat yang bersamaan PT. ANTAM juga menambang di daratan Halmahera Timur, tepatnya bagian utara Desa Buli Kecamatan Maba.

Aktivitas tambang PT. ANTAM di Pulau Pakal dan daratan Halmahera Timur itu merupakan bagian dari konsesi tambang  yang sama, melalui izin tambang yang diterbitkan Kementerian ESDM pada tahun 2000, dengan luas konsesi mencapai 39.040 hektar.

Selain menambang nikel, PT. ANTAM juga membangun tempat pemurnian (smelter) nikel, yang berlokasi di Maba Pura, tepatnya di Tanjung Buli. Aktivitas PT. ANTAM demikian ekspansif, termasuk  sejumlah perusahaan tambang lainnya di Halmahera Timur telah membuat sekujur tubuh Halmahera dan pulau kecil di sekitarnya sekarat.

Penambangan telah membongkar isi perut pulau sehingga kerusakannya tidak hanya wilayah daratan (ruang produksi pangan dan air), tapi juga ruang laut (wilayah tangkap nelayan) yang tercemar material tambang.

Kejayaan pala, kelapa, sagu, dan cengkeh, yang sebelumnya menjadi tulang punggung ekonomi warga nyaris lenyap. Warga kemudian dibuat bergantung pada ekonomi tambang yang rapuh dan sesaat serta tidak menjamin keberlanjutan dan  masa depan anak cucu.

Demikian juga dengan wilayah pesisir dan laut, yang sebelumnya para nelayan di Tanjung Buli, Pulau Pakal, dan pulau-pulau  kecil lain disekitarnya dengan mudah mendapatkan ikan, namun kini jangankan ikan sekedar kerang pun semakin sulit untuk didapatkan.

Kondisi ini diperparah karena adanya pencemaran laut akibat material tambang dan lalu lalang kapal-kapal tongkang pengangkut hasil tambang PT. ANTAM.

Hal ini dapat diperkuat dengan hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2007 atas bukti pencemaran tersebut.

Para peneliti menemukan biological oxygen demand dan chemical oxygen demand yang merupakan indikator pencemaran laut di perairan Buli masing-masing sebesar 23-37 mg per liter dan 27-75 mg per liter, jauh diambang batas laut normal.

Penelitian itu juga menyebutkan penambangan terbuka dengan mengupas gunung secara bertahap mengubah bentang alam Tanjung Buli. Erosi dan sedimentasi laut adalah ancaman yang merusak ekosistem jika tidak segera direklamasi.

Perluasan perusakan wilayah daratan, pesisir dan laut yang terus berlangsung di Halmahera Timur ini butuh tindakan nyata, bukan hanya sekedar wacana. Jika terus dibiarkan, maka akan memperbesar resiko bagi keselamatan warga dan ruang produksi pangan dan air. 

Penambangan yang karakternya rakus lahan dan rakus air ini daya rusaknya tidak hanya terjadi pada situs-situs tambang saja, tetapi juga pada wilayah lain disekitar konsesi tambang dan wilayah hilir. Kompleksitas daya rusak itu ditanggung oleh warga, baik yang memutuskan untuk bertahan atas ruang hidupnya maupun bagi sebagian warga yang bekerja di perusahaan tambang. Daya rusak itu tentu saja berlangsung lama, bahkan melampaui masa operasi tambang itu sendiri.

Dengan demikian, penyelamatan ruang hidup warga dan ekosistem, baik didarat, pesisir, dan laut yang tersisa menjadi penting dan mendesak untuk dilakukan.

Untuk itu, Muhammad Ruh atas nama warga Maba Pura, Adlin Fiqry atas nama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Nahar atas nama JATAM, mewakili seluruh masyarakat Halmahera Timur pun mendesak:

Pertama, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk segera membuat kebijakan yang bermuara pada penyelamatan dan perlindungan atas ruang hidup warga yang tersisa, mulai dari lahan pangan dan air, kawasan hutan, serta pesisir dan laut, sebagai wilayah tangkap nelayan,

Kedua, hentikan sementara seluruh operasi tambang didaratan, pesisir, dan  pulau kecil di Halmahera Timur. Lakukan audit dan evaluasi secara menyeluruh, mulai dari kebijakan perizinan hingga aktivitas tambang di tapak.

Ketiga, segera rehabilitasi segala kerusakan, baik di daratan Halmahera Timur, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang sudah rusak akibat operasi tambang,

Keempat, segera lakukan penegakan hukum yang tegas atas seluruh tindak kejahatan lingkungan yang dilakukan perusahaan tambang PT. ANTAM saat ini. (ST)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru