JAGAMELANESIA.COM – “Jang sampe kitong pu hutan papua nasib seperti di Kalimantan dan Sumatera” — Nico Wamafma
Taukah kamu banyak yang berubah di Papua? Ini pandangan saya melihat Tanah Papua tercinta…
Sejak sistem uang masuk ke Tanah Papua, tatanan hidup masyarakat adat Papua telah banyak berubah secara drastis. Alih-alih positif, ternyata perlahan malah merusak pemerintahan asli, kearifan lokal atau norma adat yang selama ribuan tahun telah terbukti berjalan dengan baik, terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya alam (SDA) dan pengaturan hak-hak masyarakat. Tatanan ini perlahan tergantikan oleh sistem ekonomi baru yang membuat individu dalam setiap suku/marga mulai berpikir untuk lebih mementingkan sumber daya-nya sendiri ketimbang milik bersama (komunal).
Mulai mengenal praktik jual-beli hingga sewa tanah dari skala kecil maupun besar, awalnya menjual barang hanya untuk kebutuhan yang sangat mendesak. Namun banyak kasus terjadi di beberapa suku praktik ini tidak terkontrol, bahkan ada pihak yang sampai kehilangan tanahnya kemudian ia terpaksa harus menumpang kembali di tanah yang ia jual kepada pihak lain.
Kebanyakan masyarakat adat Papua tidak mengerti bahwa saat ia melepaskan lahan dan hutan akan berdampak pada pupusnya hak atas tanah dan hutan tersebut, serta yang lebih fatal yakni hilangnya akses terhadap sumber daya alam dimana hutan selama ini menjadi sumber pangan dan bahan papan serta kebudayaan menjadi identitas dirinya.
Arti Hutan Bagi Rakyat Papua?
Hutan dan tanah itu diibaratkan sebagai íbu’ bagi masyarakat adat Papua. Ia menyediakan makan dan minum di kehidupan sehari-hari, bahan untuk membuat rumah hingga peralatan, serta menjadi sumber obat-obatan tradisional
Maka berdasarkan wilayah dimana ia tinggal, masyarakat adat Papua secara kearifan lokal membagi zona ekologi tradisional sesuai pemanfaatannya. Tanah, hutan dan air (darat dan laut) adalah identitas dan jati diri, karena itu harga diri masyarakat adat akan sangat lengkap jika mampu mengatur kepemilikan (hak) dan penggunaan sumber daya ini dengan baik.
Sistem pemerintahan adat terdapat struktur yang secara khusus berwenang mengatur hak-hak kepemilikan yang berlaku turun temurun (warisan) di setiap keluarga/marga dan juga mengatur sumber daya yang dikelola untuk kepentingan bersama di dalam suku tersebut. Hukum adat mengakui sistem ini agar tidak terjadi pelanggaran atas hak dan batas yang sudah disepakati turun temurun.
Pengakuan hukum adat atas konsep hak milik dan pengaturan pengelolaan sumber daya alam serta keanekaragaman hayati ini membuat suku dan marga terikat dan sangat bergantung pada ketersediaan dan keberlanjutan sumber daya tersebut.
Papua harus mendapatkan Pengakuan Hutan Adat dari Negara
Meski melimpah atas sumber daya alam, namun masyarakat adat Papua hingga saat ini belum memiliki kepastian akses untuk mengelola hutan adatnya, sehingga membuat posisi tawar mereka lemah secara hukum terkait kedudukan hak atas tanah dan sumber daya alam yang dimiliki dan dikuasainya selama turun-temurun. Situasi ini membuat begitu mudahnya pemerintah memberikan hak pengelolaan atau Izin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha (HGU) kepada swasta perkebunan sawit dan Hasil Pengusahaan Hutan/Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam.
Meski Mahkamah Konstitusi telah menyatakan ‘’hutan adat bukan hutan negara’’ (Putusan MK No. 35 Tahun 2012). Kemudian ditindaklanjuti Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, namun pengakuan hak masyarakat adat di Tanah Papua berjalan sangat lambat. Hingga kini hanya terdapat dua kabupaten yang mengakui secara hukum keberadaan masyarakat adat-nya yaitu; Masyarakat Adat Moi (Kabupaten Sorong) sekaligus dengan wilayah adatnya, kemudian pengakuan bagi 9 sembilan suku beserta wilayah adatnya di Kabupaten Jayapura.
Pengakuan hak masyarakat adat atas tanah dan wilayah adatnya merupakan bentuk perlindungan terhadap hak-hak mereka. Ia memberikan posisi tawar yang sejajar saat pemerintah, investor maupun pihak luar lainnya yang ingin bermitra dengan masyarakat adat membangun tanah Papua. Tanpa pengakuan tersebut dipastikan posisi masyarakat adat secara hukum sangat lemah sehingga investasi atau kegiatan pemanfaatan sumber daya alam cenderung merugikan masyarakat asli Papua.
Hutan Papua Korban Keserakahan Industri Sawit
Investasi berbasis lahan seperti perkebunan sawit selalu disandingkan dengan pertumbuhan pendapatan daerah, pertumbuhan infrastruktur dan perubahan kehidupan ekonomi masyarakat adat Papua, baik selaku pemilik hak ulayat maupun selaku petani plasma sawit. Meski demikian, praktik pertanian monokultur secara modern dan masif belum mampu diadopsi oleh masyarakat adat yang pada umumnya masih bertani sub-sistem untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, seraya menjaga hubungan kelestarian alam serta praktik kebudayaannya.
Awalnya perusahaan memulai komitmen bersama masyarakat adat sebagai pemilik hak, kemudian menjanjikan bahwa setelah perusahaan resmi beroperasi maka mereka akan mulai dengan membangun sejumlah fasilitas social, termasuk merekrut masyarakat setempat sebagai karyawan. Situasi ini memberi harapan bagi masyarakat adat Papua tentang perubahan dan kehidupan yang lebih baik. Sayangnya, cerita perkebunan sawit di Tanah Papua lebih banyak potret buramnya.
Perkebunan sawit baru hadir pada era 1980-an dimulai dari kehadiran PTPN II Tanjung Morawa yang mengakuisisi lebih dari 50.000 hektar tanah milik masyarakat adat Arso dan Prafi di Manokwari. Masyarakat adat tersebut kehilangan puluhan ribu hektar tanah tanpa ganti rugi biaya atas tanah.
Pembelajaran 20 tahun terakhir hadirnya perkebunan sawit di tanah Papua menunjukan bahwa kehadiran investasi berbasis lahan ini tidak berdampak positif bagi peningkatan kualitas kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat adat Papua. Semua pembiayaan seperti pajak bumi bangunan disetor/dibayarkan oleh perusahaan langsung ke kas negara, sehingga secara finansial pemerintah pusat yang banyak diuntungkan.
Fakta lain menunjukan kehadiran investasi perkebunan sawit telah merampas tanah, hutan dan ruang hidup masyarakat adat Papua. Kehidupan secara ekonomi tidak berubah namun mereka harus merasakan pahit hilangnya tanah dan hutan tempat praktek kearifan hidup dan budaya.
Ketika masyarakat adat bangkit menuntut perusahaan atas hak-haknya yang dilanggar dalam perjanjian, mereka akan berhadapan dengan kekuasaan negara (pemerintah) dan alat negara (TNI/Polri). Hal ini terjadi karena kehadiran investasi berbasis lahan sering tidak transparan dalam proses perizinan. Proses penerbitan izin-izin industri berbasis lahan seperti pertambangan, perkebunan sawit dan kehutanan seringkali diputuskan di ‘ruang gelap’ tanpa melalui proses permintaan persetujuan/penolakan tanpa paksaan (PADIATAPA) atau Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) terutama masyarakat adat di lokasi industri itu beroperasi. Hal ini mengakibatkan konflik antara perusahaan dengan masyarakat adat/lokal.
Izin-izin yang akan ataupun sudah diterbitkan juga tidak pernah dipublikasikan pemerintah, baik di situs resmi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) maupun di media lainnya. Ketika publik hendak mengakses data-data perizinan tersebut, OPD sangat tertutup dan tidak bersedia membuka data. Dalam 2 tahun terakhir sering terjadi sengketa informasi antara masyarakat dengan OPD yang berakhir pada putusan sidang Komisi Informasi.
Buruknya Tata Kelola Kehutanan dan Transparansi di Papua
LBH Papua bersengketa informasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Papua terkait tidak diberikannya dokumen HGU perkebunan sawit di provinsi Papua yang diminta LBH Papua. Setelah beberapa kali sidang di Komisi Informasi Provinsi (KIP) Papua, LBH Papua memenangkan sengketa dan KIP Papua memerintahkan BPN untuk membuka seluruh dokumen HGU yang diminta LBH Papua pada 29 Mei 2018.
Tidak transparannya izin-izin pertambangan, perkebunan sawit dan kehutanan ini merupakan salah satu alasan pentingnya membangun sistem transparansi perizinan di Tanah Papua. Sekalipun tidak ada data resmi yang dipublikasikan pemerintah terkait berapa banyak konflik tenurial di Tanah Papua, namun di beberapa tempat konflik tersebut terjadi. Di Kabupaten Keerom misalnya, terjadi konflik tenurial seluas 1.300 hektar di tiga lokasi antara masyarakat adat suku Merap dengan perusahaan sawit PTPN II. Contoh lain di Kabupaten Nabire dimana masyarakat suku Yerisiam Gua menggugat PT. Nabire Baru ke PTUN akibat perampasan tanah adat mereka yang ditanami menjadi perkebunan sawit.
IUPHHK-HTI juga tidak bebas dari konflik dengan masyarakat. PT. Medco Papua Industri Lestari di Merauke yang beroperasi sejak tahun 2007 berkonflik dengan masyarakat di Distrik Kaptel Kabupaten Merauke akibat dari penolakan tuntutan ganti rugi lahan seluas 2.800 hektar. Masih banyak contoh-contoh lainnya yang bisa dituliskan disini, namun konflik-konflik tersebut menegaskan bahwa izin-izin yang penerbitannya bermasalah perlu dikaji ulang.
Saat ini di tanah Papua beroperasi 75 usaha perkebunan sawit di provinsi Papua dan 18 usaha perkebunan sawit di provinsi Papua Barat dengan total lahan mencapai 3 juta hektar. Kita tidak ingin bicara tentang prosedur perizinan ataupun kompensasi yang diterima oleh masyarakat adat selaku pemilik hak ulayat. Karena perusahaan selalu menjadikan itu sebagai tameng bahwa seluruh persyaratan perizinan telah terpenuhi, termasuk alasan masyarakat adat telah menerima ganti rugi atau tali asih. Kita ingin bicara tentang pembangunan berkelanjutan, hilangnya hak atas tanah, terputusnya akses terhadap hutan dan gambaran masa depan yang suram dan konflik antar masyarakat adat Papua. Sistem investasi yang tidak berpihak pada masyarakat adat sehingga mereka terpaksa melepaskan tanah dan hutannya untuk dijadikan areal perkebunan sawit. (Nico Wamafma)