BerandaDaerahYorrys Raweyai: Menyikapi Revisi UU Otonomi Khusus Papua

Yorrys Raweyai: Menyikapi Revisi UU Otonomi Khusus Papua

JAGAMELANESIA.COM – Revisi UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua telah memasuki babak baru. Perubahan Kedua Atas UU tersebut sedang bergulir di DPR dan telah diperbincangkan secara resmi untuk pertama kalinya melalui Rapat Panitia Khusus. Berdasarkan dinamika dan diskursus yang berlangsung dalam rapat tersebut, MPR for Papua menyampaikan pandangan sebagai berikut:

1. Sejak awal kemunculannya, wacana Revisi UU Otonomi Khusus Papua telah menuai perbincangan dan perdebatan publik. Tidak hanya melibatkan Pemerintah Pusat sebagai Leading Sector perundang-undangan, tapi juga elemen masyarakat Papua, baik elemen formal maupun elemen nonformal.

2. Pemerintah Pusat telah mengajukan RUU Perubahan dengan menyajikan perubahan atas 3 Pasal, yakni Pasal 1, 34 dan 76.

a. Pasal 1 terkait dengan nomenklatur Provinsi yang tidak hanya dipahami sebagai Provinsi Papua dan Papua Barat, melainkan “Provinsi-provinsi” yang berada dalam wilayah Papua yang diberikan Otonomi Khusus dalam Kerangka NKRI.

b. Pasal 34 terkait dengan perubahan besaran Dana Otonomi Khusus yang semula 2% menjadi 2,25%. Penerimaan tidak lagi dikhususkan bagi Provinsi, melainkan didistribusikan bagi Kabupaten dan Kota. Demikian pula diajukan grand design dan pemanfaatan Dana Otonomi Khusus, serta pembinaan dan pengawasan yang lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah.

c. Pasal 76 terkait dengan Pemekaran Daerah yang tidak lagi sebatas dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP sebagai bentuk kekhususan. Pemekaran Daerah dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP, atau Pemerintah Pusat. Terkait dengan inisiatif Pemerintah Pusat, MRP dan DPRP sebagai pihak yang dimintai aspirasi terkait hal tersebut. Pemekeran pun dilakukan tanpa dengan melalui tahapan persiapan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai Pemerintahan Daerah.

3. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Papua dan Papua Barat serta segenap elemen masyarakat Formal dan NonFormal mengakui bahwa selama berlangsungnya Kebijakan Otonomi Khusus, masih terdapat berbagai kekurangan yang membuat perwujudan tujuan Otonomi Khusus tidak tercapai sebagaimana mestinya. Kekurangan-kekurangan tersebut ditengarai akibat berbagai kebijakan sebelumnya yang “mengamputasi” kekhususan yang terkandung dalam UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Seperti halnya kewenangan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, serta pengakuan atas pentingnya suara-suara kekhususan yang direpresentasikan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang kehilangan perhatian.

4. Kekurangan juga disebabkan oleh Tata Kelola Pemerintahan dan Pengelolaan Sumber Daya yang bertujuan untuk mengoptimalisasi peningkatan kesejahteraan serta pengelolaan Sumber Daya Manusia yang menjadi sumber penting dalam tatanan kehidupan masa depan Papua.

5. Atas dasar itu, proses legislasi yang sedang berlangsung di DPR RI saat ini sejatinya telah “kehilangan ruh kekhususan” Papua itu sendiri. Kecenderungan memaknai kompleksitas persoalan Papua semata sebagai wilayah yang dipenuhi kekurangan dengan cara mereduksinya dan mengakomodasinya melalui pendekatan ekonomi kesejahteraan, menjadi ironi bagi wilayah yang sesungguhnya “kaya raya” dengan sumber daya alam yang dikandungnya.

6. Jika hanya mempersoalkan kompleksitas capaian dan indikator pembangunan yang masih berjalan lambat, Pemerintah Pusat seharusnya melakukan terobosanterobosan dengan memaksimalkan penerbitan aturan-aturan setingkat pusat maupun daerah yang mengakselerasi percepatan pembangunan. Terobosan-terobosan itulah yang sebagiannya termaktub dalam Pandangan Pemerintah melalui Kementerian Bappenas sebagai leading sector percepatan pembangunan.

7. Jika hanya menjadikan keberlangsungan Dana Otonomi Khusus sebagai alasan pentingnya Revisi UU Otonomi Khusus, maka sesungguhnya Dana Bagi Hasil atas Sumber Daya Alam yang dimiliki Papua yang begitu besar dapat menjadi sumber kesejahteraan yang justru selama ini tidak dikelola dengan baik.

8. Sementara itu, persoalan Pemekaran Daerah bukanlah alasan khusus untuk melakukan revisi. Sebab kewenangan persetujuan pada MRP dan DPRP sudah cukup bagi Papua untuk mendefinisikan sejauhmana kebutuhan mereka terhadap pemekeran. Jalan pintas pemekaran tanpa melalui MRP dan DPRP serta tahapan-tahapan, hanya akan menimbulkan persoalan barui di masa yang akan datang.

9. Pemerintah Pusat cenderung menutup mata atas berbagai riak sosial-kemasyarakatan yang menyangkut harkat dan martabat (dignity) serta jati diri yang dilandasi paradigma kekhususan sebagai termaktub dalam konsideran UU 21 Tahun 2001. Jika tidak, lalu dimana letak perhatian Pemerintah Pusat terkait rasa keadilan, kesejahteraan berbasis sumber daya lokal, penegakan hukum, hak asasi manusia dan pengakuan atas kekhasan Papua dengan aneka ragam karakter tradisi dan budayanya?

10. Perubahan 3 Pasal dalam RUU Otonomi Khusus Papua sebagaimana diajukan oleh Pemerintah Pusat sesungguhnya merupakan sebentuk “aneksasi” baru yang diselenggarakan melalui forum konstitusional yang justru mengabaikan kekhususan Papua. Kehilangan Ruh Kekhususan akan mengakibatkan “matinya” nilai-nilai perjuangan Papua yang sejak awal bermimpi tentang masa depan yang lebih baik, sebagaimana tercantum dalam UU Otonomi Khusus Papua. (rls)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru