BerandaDaerahLBH Papua: 54 Tahun Freeport Tak Taat Hukum, Langgar Hak Buruh

LBH Papua: 54 Tahun Freeport Tak Taat Hukum, Langgar Hak Buruh

JAYAPURA, JAGAMELANESIA.COM – 54 Tahun Freeport di Bumi Papua Tidak Taat Hukum dan Terus Melanggar Hak Mogok Kerja Buruh

“Manajemen PT. Freeport Indonesia Segera Berikan Upah dan Mempekerjakan Kembali 8.300 Buruh Mogok Kerja PT.Freeport Indonesia Sesuai Perintah Pasal 145, UU No 13 Tahun 2003 dan Surat Disnaker Propinsi Papua No : 560/1455/2019 Tentang Nota Pemeriksaan I”.

Perusahaan Freeport Mc Morand And Gold Copper Ing atau PT. Freeport Indonesia adalah perusahaan tambang pertama di Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 7 April 1967 pasca diberlakukan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Pertambangan yang beroperasi di Bumi Papua. Sekalipun penandatangannya mengunakan kedua ketentuan hukum diatas namun secara hukum penandatanganan kontrak karya pemerintah dan PT. Freeport Indonesia itu sendiri menyimpan sejuta pertanyaan sebab penandatangannya dilakukan sebelum pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 di wilayah papua sesuai dengan ketentuan New York Agreement Tahun 1962 dan tanpa melibatkan masyarakat adat papua sebagai pemilik tanah adat papua diatas fakta pada saat itu pengakuan terhadap hak ulayat telah dijamin dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Pokok Agraria.

Di atas berbagai persoalan hukum yang mewarnai penandatangan kontrak karya pertama antara pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia itu, pada perkembangannya  selama 54 tahun PT. Freeport Indonesia di Bumi Papua menunjukan sikap yang kebal hukum dan tidak menghargai hak-hak buruh yang dijamin dalam peraturan hukum yang berlaku di Indonesia sebagaimana terlihat dalam kasus nasib 8.300 Buruh mogok kerja PT. Freeprot Indonesia yang telah melakukan mogok sejak tanggal 1 Mei 2017 sampai sekarang (2021).

Untuk diketahui bahwa Perjuangan mogok kerja yang dilakukan oleh 8.300 Buruh PT. Freeprot Indonesia sejak tanggal 1 Mei 2017 sampai sekarang (2021) diakibatkan karena PT. Freeprot Indonesia memberlakukan kebijakan Furlough secara sepihak kepada Buruh PT. Freeprot Indonesia pasca Pemerintah mengeluarkan dan mengesahkan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara dimana melalui Kontrak Karya (KK) diubah menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang mempengaruhi produksi PT. Freeport sehingga PT. Freeport Indonesia mengeluarkan Program Fourloght Berkaitan dengan kebijakan Furlough sendiri tidak diakui dalam  UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hal itu dikuatkan oleh Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Perumahan Rakyat Kabupaten Mimika sebagaimana dalam Surat Nomor 560/800 /2017 Perihal Furlough dan Penetapan Mogok Kerja PUK SP KEP SPSI PT. FI, tertanggal 28 Agustus 2017 yang menjelaskan bahwa “Fourloungh tidak dikenal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003.

Pada prinsipnya Perjuangan mogok kerja (Moker) 8.300 Buruh PT.Freeprot Indonesia merupakan bagian langsung dari ketentuan Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan sebagaimana diatur pada pasal 137 ayat (1), UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berkaitan dengan sahnya mogok kerja yang dilakukan 8.300 Buruh PT.Freeprot Indonesia secara tegas oleh Dinas Ketenagakerjaan Propinsi Papua sebagaimana dalam Surat Dinasker Propinsi Papua Nomor : 560/1271, Perihal : Penyelesaian Penanganan Kasus PT. Freeport Indionesia tertanggal 12 September 2018 yang menyebutkan

“Berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen dan bukti fisik yang diterima maka Mogok Kerja yang dilakukan sah sesuai Pasal 137 dan Pasal 140 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan”. Pada perkembangannya Surat Dinasker Propinsi Papua Nomor: 560/1271 tersebut menjadi pijakan bagi Gubernur Propinsi Papua menerbitkan Surat Gubernur Papua Nomor 540/14807/SET, Perihal : Penegasan Kasus Mogok Kerja PT. Freeport Indonesia, tertanggal 19 Desember 2018 yang menegaskan bahwa

“Mogok kerja yang dilakukan pekerja PT. Freeport Indonesia, Privatisasi, Kontraktor dan Sub Kontraktor sejak 1 Mei 2017 telah sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaa dengan 137 dan Pasal 140 sehingga mogok kerja tersebut sah maka Gubernur Papua menegaskan PT.FREEPORT INDONESIA, Privatisasi, Kontraktor dan Sub Kontraktor Agar Mempekerjakan Kembali Dan Membayar Hak-Haknya Sebagaimana Mestinya Sesuai Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku”.

Sebagai tindak lanjut dari Surat Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Perumahan Rakyat Kabupaten Mimika Nomor 560/800 /2017 Perihal Furlough dan Penetapan Mogok Kerja PUK SP KEP SPSI PT. FI tertanggal 28 Agustus 2017 terkait “menugaskan kepada Pegawai Pengawas untuk melakukan pemeriksaan ketenagakerjaan khusus ke PT.Freeport Indonesia” diwujudkan dengan diterbitkan Surat Perintah Dinas Tenaga Kerja Propinsi Papua Nomor: 802/419, tertanggal 25 Maret 2019 yang memerintahkan AGUS SUGIANTORO S.Kom dan SRI RAHMI, SH selaku Pengawas Ketenagakejraan Propinsi Papua untuk memeriksa maupun menguji norma-norma ketenagakerjaan di PT. Freeport indonesia dan membuat laporan pelaksanaan tugas kepada kepala dinas tenaga kerja Provinsi Papua.

Dari hasil pemeriksaan itu akhirnya petugas pengawas menerbitkan Surat Dinas Tenaga Kerja Nomor : 560/1455/2019, Perihal : Nota Pemeriksaan I tertanggal 16 Desember 2019 yang dikirimkan Kepada : Pimpinan Perusahaan PT. Freeport Indonesia.  Pada prinsipnya dalam Nota Pemeriksaan I berisi : 1). PT.Freeport Indonesia diwajibkan untuk menyelesaikan permasalahan ini dijalur UU Nomor 2 Tahun 2004 sampai dengan mendapatkan putusan tetap dari Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial; dan 2). Selama putusan lembaga penyelesaian perselisian hubungan industrial belum ditetapkan baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya sebagaimana ketentuan Pasal 155 ayat (1) dan ayat (2), UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sekalipun demikian isi Nota Pemeriksaan I namun sampai saat ini, PT. Freeport Indonesia belum menjalankan satupun rekomendasi Nota Pemeriksaan I diatas. Untuk diketahui bahwa salah satu perintah dari point dua diatas adalah Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya sebagaimana diatur pada Pasal 155 ayat (2), UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Terlepas dari itu, dengan mengacu Surat Dinasker Propinsi Papua Nomor : 560/1271 yang menyatakan bahwa MOGOK KERJA YANG DILAKUKAN SAH maka sewajibnya yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia adalah memberlakukan ketentuan “Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah” sebagaimana diatur pada Pasal 145, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan namun pada prakteknya sejak tanggal 1 Juli 2017 PT. Freeport Indonesia secara sepihak mencabut upah dan BPJS milik 8.300 Buruh PT. Freeprot Indonesia yang melakukan mogok kerja sejak tanggal 1 Mei 2017 sampai sekarang (2021).

Atas dasar itu, sehingga secara langsung menunjukan fakta bahwa PT. Freeport Indonesia tidak menghargai hak mogok kerja yang merupakan hak dasar buruh atau serikat buruh yang dijamin pada pasal 137 ayat (1), UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan selanjutnya secara terang-terang mengabaikan ketentuan Pasal 145, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Melalui sikap dan tindakan PT. Freeport Indonesia di atas telah berdampak pada terlanggarnya hak atas pekerjaan, hak atas upah dan hak atas kesejahteraan keluarga 8.300 Buruh PT. Freeport Indonesia yang dijamin berdasarkan ketentuan Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28D ayat (1), UUD 1945).

Selain itu, Setiap orang, baik pria maupun wanita dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya (Pasal 38 ayat (4), Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Atas fakta pelanggaran ini sejak lama telah diadukan ke Komnas HAM RI dan telah diterbitkan Surat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: 1475/R-PMT/X/2017, Perihal : Rekomendasi Terkait Pemutusan Hubungan Kerja PT. Freeport Indonesia tertanggal 23 Oktober 2017 yang dikirimkan Kepada Presiden Republik Indonesia dan Surat Nomor: 178/TUN/XI/2018 perihal tindak lanjut terkait PHK dan Pencabutan Layanan BPJS yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia tertanggal 2 November 2018.

Selain itu, melalui pencabutan Layanan BPJS secara langsung berdampak pada kesulitan para buruh yang melakukan mogok kerja yang sah untuk memenuhi hak atas kesehatan sehingga dari ada 81 orang buruh mogok kerja PT. Freeport Indonesia yang terlanggaran hak hidupnya. Melalui fakta itu jelas-jelas telah menunjukan adanya fakta pelanggaran ketentuan Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A, UUD 1945).

Selain itu, telah turunkan kedalam prinsip Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya sebagaimana Pasal 9 ayat (1), Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Atas fakta itu telah diadukan kepada Komnas HAM RI Perwakilan Papua terkait dugaan pelanggaran hak hidup 72 buruh sebagaimana dalam Surat Tanda Penerimaan Pengaduan Nomor 037/STTP-HAM/VIII/2020 tertanggal 11 Agustus 2020.

Berdasarkan uraian diatas sudah dapat disimpulkan bahwa 54 TAHUN FREEPORT DI BUMI PAPUA TIDAK TAAT HUKUM DAN TERUS MELANGGAR  HAK MOGOK KERJA BURUH sebab faktanya PT. Freeport Indonesia tidak menghargai perjuangan mogok kerja buruh yang dijamin dalam pasal 137 ayat (1), UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sehingga berdampak pada terlanggaran hak atas pekerjaan, hak atas upah, hak atas kesejahteraan keluarga buruh dan hak hidup buruh yang dimin pada Pasal 28D ayat (1), UUD 1945 dan Pasal 38 ayat (4), Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia junto Pasal 28A, UUD 1945 dan Pasal 9 ayat (1), Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Di atas kenyataan itu, Negara melalui pemerintah yang memiliki tugas pokok Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah sebagaimana Pasal 28I ayat (4), UUD 1945 dan Pasal 8, Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia malah hanya menonton “54 TAHUN FREEPORT DI BUMI PAPUA TIDAK TAAT HUKUM DAN TERUS MELANGGAR  HAK MOGOK KERJA BURUH” yang menyengsarakan nasib 8.300 Buruh PT.Freeport Indonesia yang melakukan mogok kerja yang sah sesuai ketentuan pasal 137 ayat (1), UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Atas dasar itu, Lembaga Bantuan Hukum Papua selaku kuasa hukum dari 8.300 buruh  PT. Freeport Indonesia yang melakukan mogok kerja sesuai UU Nomor 13 Tahun 2003 mendesak:

1. Pimpinan Presiden dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C. Anderson dan Manajemen PT.Freeport Indonesia wajib menghargai perjuangan mogok kerja yang dilakukan oleh 8.300 buruh PT. Freeport Indonesia sesuai ketentuan pasal 137 ayat (1), UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan menjalankan Surat Dinas Tenaga Kerja Nomor : 560/1455/2019, Perihal : Nota Pemeriksaan I tertanggal 16 Desember 2019 dengan cara memberikan upah dan mempekerjakan 8.300 buruh PT. Freeport Indonesia kembali;

2. Presiden Republik Indonesia Cq Mentri Tenaga Kerja perintahkan Manajemen PT. Freeport Indonesia untuk menjalankan perintah Surat Dinas Tenaga Kerja Nomor : 560/1455/2019, Perihal : Nota Pemeriksaan I tertanggal 16 Desember 2019 dengan cara memberikan upah dan mempekerjakan 8.300 buruh PT. Freeport Indonesia kembali;

3. Gubernur Provinsi Papua Cq Dinas Perindustrian, Koperasi dan Ketenagakerjaan Propinsi Papua segera perintahkan Manajemen PT. Freeport Indonesia untuk menjalankan perintah Surat Dinas Tenaga Kerja Nomor : 560/1455/2019, Perihal : Nota Pemeriksaan I tertanggal 16 Desember 2019 dengan cara memberikan upah dan mempekerjakan 8.300 buruh PT. Freeport Indonesia kembali;

4. Ketua Komnas HAM RI dan kepala kantor Komnas HAM RI Perwakilan Papua segera tindaklanjut dugaan pelanggaran hak hidup buruh yang telah diadukan dan terdaftar dalam dalam Surat Tanda Penerimaan Pengaduan Nomor 037/STTP-HAM/VIII/2020 tertanggal 11 Agustus 2020.

Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih. (rls)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru