JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) merupakan salah satu penyakit yang sangat ditakuti saat ini, dikarenakan Covid-19 ini adalah salah satu penyakit menular yang cukup mematikan, dan proses penularannya pun tidak beda dengan penyakit menular lainnya seperti Tuberkulosis (TBC).
Dilansir Jagamelanesia.com, dari sistus resmi Kementrian Kesehatan Republik Indonesi (Kemenkes RI), Wakil Ketua Komite Ahli Penanggulangan Tuberkulosis (TBC) 2021, Prof. Tjandra Yoga Aditama, mengatakan, dari program penanggulangan Covid-19 misalnya Testing, Tracing, dan Treatment (3T), hal yang sama juga bisa dilakukan untuk Tuberculosis (TBC). Kemudian pakai masker juga jelas dapat mencegah penularan Covid-19 dan mencegah penularan TBC.
Hal ini disampaikan Tjandra pada Konferensi Pers hari TBC sedunia secara virtual di Jakarta, Selasa (23/3).
“Jadi masker ini memang penting untuk mengurangi penularan semua penyakit yang dikeluarkan lewat saluran pernapasan. Kita harapkan semua pelayanan kesehatan itu berjalan baik untuk menangani Covid-19 dan juga untuk menangani TBC,” katanya.
Sebagai contoh, penelusuran kontak kasus positif Covid-19 dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan. Begitu juga penelusuran kontak dari pasien TBC diperlukan untuk mencegah penularan.
“Covid-19 tidak akan selesai kalau hanya mengandalkan pemerintah, harus ada keterlibatan masyarakat untuk menangani penyakit tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk TBC,” ungkapnya.
Sementara Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P3ML), dr. Siti Nadia Tarmizi, mengatakan TBC masih merupakan masalah kesehatan utama yang ada di dunia, termasuk Indonesia. Diperkirakan sebanyak 845.000 untuk kasus TBC biasa dan 24.000 untuk kasus TBC resisten yang ada di Indonesia.
Pada situasi pandemi ini, kata Nadia, kasus TBC di tahun 2020 dari 845.000 kasus yang seharusnya, ditemukan hanya 350.000 atau 349.000 kasus. Sementara untuk kasus TBC resisten dari perkiraan 24.000 kasus yang seharusnya, ditemukan hanya 860 kasus.
Persentase di tahun 2018 dan 2019, estimasi kasus yang ditemukan sebesar 60%. Tetapi, ternyata di tahun 2020 hanya 30% kasus yang ditemukan itu.
“Ini menjadi alarm kita di 2021 untuk segera bisa kembali kepada jalur untuk kita segera menemukan jumlah kasus sesuai dengan estimasi tadi,” ucap dr. Nadia.
Selama pandemi Covid-19, pelayanan TBC dilakukan dengan protokol kesehatan menyesuaikan situasi pandemi Covid-19. Layanan TBC dipastikan tetap berjalan dan frekuensi penemuan pasien TBC tidak akan menurunkan kualitas.
Hal tersebut dilakukan dengan cara melakukan pemantauan pengobatan secara elektronik melalui whatsapp ataupun sarana elektronik lainnya.
“Jadi setiap hari pasien dihubungi melalui alat komunikasi baik itu ke pasien ataupun keluarga pasien. Sehingga pada saat pengambilan obat di Puskesmas atau di rumah sakit akan dimintakan nomor kontaknya, guna bisa dilakukan pemantauan pengobatan secara elektronik,” tutur dr. Nadia.
Selain itu, juga ada kebijakan relaksasi interval pengambilan obat. Pada pasien TBC sensitif untuk fase intensif obat TBC bisa diberikan dalam kurun waktu 14 sampai 28 hari, sementara pada pengobatan lanjutan intervalnya adalah 28 hari sampai 56 hari, yang sebelumnya ini hanya 2 minggu.
Bagi pasien TBC resisten obat juga diberikan kemudahan, yaitu setiap 7 hari, dan pada fase selanjutnya 14 sampai 28 hari.
“Kami mengimbau masyarakat yang memiliki gejala batuk melebihi waktu 2 minggu ataupun batuk-batuk yang diketahui tidak sembuh dengan pengobatan obat batuk biasa, untuk segera memeriksakan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Tidak perlu takut untuk mendatangi Puskesmas atau rumah sakit,” tutupnya. (ST)